Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Sriwijaya Masa Kejayaan Dan Penyebab Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya



 Kerajaan yang terletak di Sumatra Selatan ini merupakan kerajaan yang bercorak Buddha dan juga sebagai pusat penyebaran agama Budha di Asia Tenggara. Seperti yang diberitakan oleh I Tsing, seorang musafir Cina yang belajar paramasastra Sansekerta di Sriwijaya.

Kerajaan Sriwijaya ini dipimpin oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa, yang juga merupakan raja pertama di kerajaan ini. Mengenai penamaannya, kata Sriwijaya ini berasal dari bahasa Sansekerta “Sri” dengan arti “bercahaya” dan “Wijaya” artinya “kemenangan”. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa kerajaan ini adalah kemenangan yang gemilang atau bercahaya.

Menurut catatan I Tsing, Sriwijaya memiliki peran sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan agama Buddha di Asia Tenggara. I Tsing diketahui pernah belajar tata bahasa Sanskerta dan teologi Buddha di Kerajaan Sriwijaya. Dia juga menerjemahkan kitab kitab suci agama Buddha yang berbahasa Sansekerta ke dalam bahasa Cina.

Selain sebagai pusat agama Buddha, Kerajaan Sriwijaya juga dikenal sebagai kerajaan maritim yang memiliki armada laut cukup besar. Sebagai kerajaan maritim, Sriwijaya menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara. Hal ini dikarenakan kerajaan Sriwijaya menguasai dua selat penting dalam jalur perdagangan laut, yaitu: Selat Malaka dan Selat Sunda.

Seperti kita ketahui Selat Malaka pada saat itu merupakan jalur perdagangan yang sangat ramai dan dapat menghubung-kan antara pedagang-pedagang dari Cina dengan India maupun Romawi.
Dari tepian Sungai Must di Sumatra Selatan, pengaruh Kerajaan Sriwijaya terus meluas yang mencakup Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Bangka, Laut Jawa bagian barat, Bangka, Jambi Hulu, dan mungkin juga Jawa Barat (Tarumanegara), Semenanjung Malaya hingga ke Tanah Genting Kra. Luasnya wilayah laut yang dikuasai Kerajaan Sriwijaya menjadikan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim yang besar pada zamannya.


a. Masa Kejayaan Sriwijaya


Pada abad ke 9-10 merupakan masa kejayaan kerajaan Sriwijaya. Pada waktu itu kerajaan Sriwijaya berhasil menguasai jalur perdagangan maritim Asia Tenggara. Bahkan kerajaan Sriwijaya ini sudah menguasai nyaris semua kerajaan di Asia Tenggara. Seperti; Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Kamboja, Thailand, Filipina dan Vietnam.

Lebih dari itu Sriwijaya ini juga merangkap menjadi pengendali rute perdagangan lokal yang sewaktu itu semua kapal yang melintas dikenakan bea cukai. Sriwijaya menguasai Malaka dan Selat Sunda. Bukan hanya itu saja, kerajaan ini juga mengumpulkan seluruh kekayaannya dari gudang perdagangan dan jasa pelabuhan.

Pada tahun 860 Masehi, prasasti Nalanda yang berada di India menyeret nama Sriwijaya sebagai nama kerajaan internasional yang sangat peduli dengan pendidikan. Masa keemasan ini semakin meningkatkan pamor Balaputeradewa yang saat itu menjadi Raja Sriwijaya. Dalam prasasti tersebut, Balaputeradewa disebutkan mendirikan asrama pelajar Sriwijaya yang diperuntukkan anak dari Sriwijaya yang sedang menuntut ilmu di Nalanda, India. Tempat itu sudah banyak menghasilkan para pendeta yang dapat mengayomi orang banyak. Pada zaman itu, India dan Benggala tempat beradanya perguruan Nalanda sedang dipimpin oleh Raja Dewapaladewa.

Puncak keemasan diperoleh Sriwijaya setelah berjuang dalam hitungan abad. Sriwijaya memperoleh kejayaan ini di abad ke-8 dan ke-9. Hingga pada akhirnya, kejayaan tersebut harus diakhiri pada abad ke-11.

Balaputeradewa yang berhasil membawa Sriwijaya mencapai kejayaan itu sebenarnya adalah anak dari Raja Samarattungga. Seorang keturunan Dinasti Syailendra dari bumi Jawa yang memberikan peninggalan berupa candi Borobudur kepada anak cucunya.

Di masa pemerintahan Balaputeradewa ini agama Budha benar-benar menunjukkan progressnya. Ada banyak orang yang bermaksud menjadi murid spiritual seorang biksu besar bernama Dharmakirti.


b. Penyebab Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya

Setelah berkuasa selama kurang lebih 3 Abad lamanya, kerajaan Sriwijaya akhirnya mengalami kehancuran. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kehancuran kerajaan Sriwijaya.

Berikut ini beberapa faktor yg menyebabkan Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya:

1. Kurangnya Aktivitas kapal dagang yang singgah

Salah satu faktor yang menyebabkan runtuhnya kerajaan sriwijaya adalah kurangnya aktivitas kapal dagang yang singgah dan perlu diketahui hal ini disebabkan oleh semakin jauhnya kota palembang dari posisi laut yang menyebabkan daerah tersebut menjadi tidak strategis lagi, karena hal tersebut kapal-kapal dagang lebih tertarik untuk singgah di tempat yang lain. Hal ini sangat berdampak bagi runtuhnya kerajaan sriwijaya dimana karena adanya faktor ini kegiatan perdagangan berkurang serta pendapatan kerajaan dari hasil pajak menjadi turun ataupun berkurang.

2. Adanya serangan dari negara lain

Adanya serangan dari kerajaan lain yang berada di sekitar kerajaan sriwijaya itu sendiri. Salah satu kerajaan yang menyerang kerajaan sriwijaya terjadi pada tahun 992 M yaitu dari kerajaan medang, dimana dilakukan oleh Raja Teguh Dharmawangsa yang menyerang wilayah sriwijaya selatan. Pada pada tahun 1017 M juga adanya serangan dari kerajaan Colamandala dari india selatan, dimana kerajaan tersebut menyerang daerah semenanjung malaka. Puncaknya pada tahun 1377 M adanya pendudukan yang dilakukan oleh Kerajaan Majapahit atas seluruh wilayah Kerajaan Sriwijaya, dimana pendudukan yang saat itu dipimpin oleh Adityawarman dilakukan atas perintah dari Gadjah Mada dalam upaya untuk mewujudkan kesatuan dari nusantara.

3. Wilayah Kekuasaan banyak yang melepaskan diri

Faktor lainnya yang menyebabkan Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya adalah banyaknya wilayah kekuasaan dari kerajaan sriwijaya yang melepaskan diri akibat dari lemahnya perekonomian yang disebabkan oleh menipisnya pendapatan dari pajak serta kurang baiknya pemimpin dari kerajaan sriwijaya. Hal ini membuat wilayah-wilayah kekuasaan dari kerajaan sriwijaya sendiri banyak yang melepaskan diri. Selain itu kekuatan militer serta kontrol dari kerajaan sangatlah lemah sehingga wilayah-wilayah yang pada asalnya merupakan taklukan Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan sendiri. Salah satu kerajaan dari salah satu wilayah Kerajaan Sriwijaya yang melepaskan diri yaitu Jambi, Klantan, Pahang serta Sunda. Hal ini membuat keadaan ekonomi dari kerajaan sriwijaya menjadi semakin parah, dimana biasanya kerajaan-kerajaan tersebut memberikan setoran pajak, setelah melepaskan diri setoran pajak tersebut tidak didapatkan lagi oleh Kerajaan Sriwijaya.

4. Pesatnya Perkembangan Agama Islam

Faktor lain yang menyebabkan runtuhnya Kerajaan Sriwijaya yaitu pesatnya perkembangan agama islam. Pesatnya perkembangan islam terjadi di abad 12 M, di mana saat itu pengaruh islam semakin lama semakin berkembang di nusantara. Pada abad 12 M tersebut juga terdapat kerajaan bercorak islam seperti Kerajaan Aceh , Samudra Pasai dan Malaka. Kerajaan-kerajaan tersebut sudah mulai menguasai sebagian wilayah dari kerajaan sriwijaya. Hal inilah yang semakin membuat kerajaan sriwijaya semakin tak berdaya terhadap faktor-faktor perkembangan zaman tersebut.

5. Sektor Militer yang melemah

Faktor terakhir yang menyebabkan runtuhnya Kerajaan Sriwijaya adalah sektor militernya yang semakin lama semakin melemah, sehingga wilayah yang menjadi taklukan dari Kerajaan Sriwijaya satu persatu mulai melepaskan diri. Lemahnya sektor militer ini juga disebabkan karena adanya faktor internal maupun eksternal yang dapat mengganggu kekuatan sektor militer Kerajaan sriwijaya. Dengan lemahnya sektor militer inilah membuat kerajaan lain berani untuk menyerang Kerajaan Sriwijaya.

c. Raja Raja yang Memerintah Di kerajaan Sriwijaya

- Dapunta Hyang Sri Jayanasa
- Sri Indravarman
- Rudra Vikraman
- Maharaja Wisnu Dharmmatunggadewa
- Dharanindra Sanggramadhananjaya
- Samaragrawira
- Samaratungga
- Balaputradewa
- Sri UdayadityavarmanSe-li-hou-ta-hia-li-tan
- Hie-tche (Haji)
- Sri CudamanivarmadevaSe-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa
- Sri MaravijayottunggaSe-li-ma-la-pi
- Sumatrabhumi
- Sangramavijayottungga
- Rajendra Dewa KulottunggaTi-hua-ka-lo
- Rajendra II
- Rajendra III
- Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa
- Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa
- Srimat Sri Udayadityawarma
- Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa

d. Beberapa Peninggalan Bersejarah Kerajaan Sriwijaya

1. Prasasti Talang Tuo

Prasasti Talang Tuo ini ditemukan di sebelah barat Palembang pada tahun 606 SM / 684 M. Berisi tentang Dapunta Hyang Sri Jayanaga yang mana telah membuat Taman Sriksetra untuk kemakmuran semua makhluk.

2. Prasasti Kedukan Bukit

Prasasti Kedukan Bukit ditemukan pada tahun 605 SM / 683 SM di Palembang. Prasasti ini berisi ekspansi 8 hari yang dilakukan oleh Dapunta Hyang bersama 20.000 tentara yang akhirnya berhasil menakhlukkan beberapa daerah sehingga kerajaan Sriwijaya menjadi makmur.

3. Prasasti Kota Kapur ini ditemukan di Bangka pada tahun 608 SM / 686 M. Prasasti ini berisi tentang permohonan yang diajukan kepada Dewa untuk meminta keselamatan kerajaan Sriwijaya beserta seluruh rakyatnya.

4. Prasasti Karang Birahi

Prasasti Karang Birahi ini ditemukan pada tahun 608 SM / 686 M di Jambi. Isinya serupa dengan prasasti Kota Kapur.

5. Prasasti Ligor

Prasasti Ligor ditemukan pada tahun 679 SM / 775 M di daerah Tang Genting Kra. Berisi tentang kisah semasa Sriwijaya berada di bawah kekuasaan Darmaseta.

Sejarah Berdirinya Kerajaan Kutai Masa Kejayaan dan Penyebab Runtuhnya Kerajaan Kutai



a. Sejarah Berdirinya Kerajaan Kutai

Kutai Martadipura adalah kerajaan bercorak Hindu di Nusantara yang memiliki bukti sejarah tertua. Berdiri sekitar abad ke-4. Kerajaan ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu sungai Mahakam. Nama Kutai diberikan oleh para ahli mengambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi kerajaan tersebut. Tidak ada prasasti yang secara jelas menyebutkan nama kerajaan ini dan memang sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh.

Sumber sejarah mengenai keberadaan Kerajaan Kutai adalah beberapa penemuan peninggalan berupa tulisan (prasasti). Tulisan tersebut terdapat pada 7 tiang batu yang disebut dengan yupa. Yupa ini berbentuk tugu batu serupa menhir ini adalah warisan nenek moyang dari zaman dahulu yaitu zaman megalitikum. Tiang batu atau yupa tersebut dikeluarkan oleh Mulawarman dengan menggunakan huruf pallawa dan bahasa Sanskerta. Yupa ini digunakan untuk mengikat hewan kurban yang merupakan persembahan masyarakat Kutai ke para dewa yang dipujanya.

Pada prasasti itu juga diceritakan bahwa Raja Mulawaraman memerintah dengan bijaksna. Ia pernah menghadiahkan ± 20.000 ekor sapi untuk korban kepada para brahmana / pendeta. Dan dalam prasasti itu pun menyatakan bahwa Raja Aswawarman merupakan pendiri dinasti, mengapa bukan ayahnya Kudungga yang menjadi pendiri dinasti tetapi anaknya Aswawarman? Hal itu karena pada saat itu Raja Kudungga belum memeluk agama Hindu, sehingga ia tidak bisa menjadi pendiri dinasti Hindu.

Dari Raja Aswawarman menurunlah sampai Mulawarman, karena Mulawarman pun memeluk agama Hindu. Hal itu diketahui dari penyebutan bangunan suci untuk Dewa Trimurti. Bangunan itu disebut bangunan Wapraskewara dan di Gua Kembeng di Pedalaman Kutai ada sejumlah arca-arca agama Hindu seperti Siwa dan Ganesa.


Berikut Adalah Raja Raja yang Pernah Memerintah di Kerajaan Kutai:


- Raja Kudungga.

Adalah raja pertama sekaligus pendiri dari Kerajaan Kutai. Jika dilihat dari namanya yang masih menggunakan nama Indonesia, para ahli berpendapat bahwa pada masa pemerintahan Kudungga pengaruh Agama Hindu belum terlalu kuat. Hal ini dikarenakan para raja kerajaan Hindu pada zaman dulu selalu menggunakan nama-nama India. Para ahli juga memperkirakan bahwa Kudungga pada awalnya adalah seorang kepala suku. Namun setelah masuknya pengaruh Hindu dari India, maka berubahlah sistem pemerintahan dari kepala suku menjadi kerajaan. Kudungga lalu mendeklarasikan dirinya sebagai raja dan memutuskan bahwa pergantian kekuasaan harus dilakukan secara turun temurun sebagaimana sistem kerajaan pada umumnya.

- Raja Aswawarman.

Aswawarman adalah putra dari Kudungga. Aswawarman disebut sebagai seorang raja yang cakap dan kuat. Aswawarman pulalah yang memiliki jasa paling besar atas perluasan wiayah Kerajaan Kutai. Perluasan wilayah diakukan oleh Aswawarman dengan cara melakukan upacara Asmawedha, yaitu upacara pelepasan kuda untuk menentukan batas wilayah kerajaan. Kuda-kuda yang dilepaskan ini akan diikuti oleh prajurit kerajaan yang akan menentukan wilayah kerajaan sesuai dengan sejauh mana jejak telapak kaki kuda dapat ditemukan.

- Raja Mulawarman.

Merupakan putra Aswawarman sekaligus raja terbesar Kerajaan Kutai yang membawa Kutai mencapai puncak kejayaannya. Dibawah pemerintahannya, rakyat Kutai dapat hidup aman dan sejahtera. Pada prasasti Yupa, Mulawarman disebut sebagai seorang raja yang sangat dermawan karena telah memberikan sedekah berupa 20.000 ekor sapi kepada para brahmana.


b. Masa Kejayaan Kerajaan Kutai

Di masa pemerintahan Raja Mulawarman ini kerajaan mencapai masa kejayaan. Hal ini karena beliau begitu bijaksana dan royal bagi hal-hal yang religius. Para brahmana dihadiahi emas, tanah, dan ternak secara adil, pengadaan upacara sedekah di tempat yang dianggap suci atau Waprakeswara.

Rakyat pun menghormati rajanya dengan menyelenggarakan kenduri demi keselamatan raja. Kebesaran raja Mulawarman tertuang dalam tulisan-tulisan pada tugu prasasti.

Prasasti Mulawarman terdiri dari 7 yupa yang isinya berupa puisi anustub, tetapi hanya 4 yupa yang baru berhasil dibaca dan dialihbahasakan. Yupa adalah tugu batu yang dipakai untuk menambatkan hewan kurban. Berikut ini adalah transkripsi dari prasasti.

c. Penyebab Runtuhnya Kerajaan Kutai

Kerajaan Kutai berakhir pada saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai Martadipura) berbeda dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu ibukota di Kutai Lama (Tanjung Kute).

Kutai Kartanegara inilah, di tahun 1365, yang disebutkan dalam sastra Jawa Negarakertagama. Kutai Kartanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam. Sejak tahun 1735 kerajaan Kutai Kartanegara yang semula rajanya bergelar Pangeran berubah menjadi bergelar Sultan (Sultan Aji Muhammad Idris) dan hingga sekarang disebut Kesultanan Kutai Kartanegara.

d. Peninggalan Bersejarah Kerajaan Kutai

1. Prasasti Yupa

Prasasti Yupa merupakan salah satu dari peninggalan Kerajaan Kutai tertua dan benda ini menjadi bukti sejarah dari Kerajaan Hindu di Kalimantan tersebut. Ada 7 prasasti Yuoa yang masih bisa dilihat hingga kini. Yupa merupakan tiang batu yang dipakai untuk mengikat kurban hewan ataupun manusia yang dipersembahkan pada para Dewa dan pada tiang batu tersebut terdapat tulisan yang dipahat. Tulisan-tulisan tersebut ditulis memakai bahasa sansekerta atau huruf Pallawa. Namun dari ketujuh Prasasti Yupa tersebut tidak ada yang disertai dengan tahun pembuatannya sehingga tidak diketahui dengan pasti tanggal pembuatan prasasti tersebut.

2. Ketopong Sultan

Ketopong merupakan mahkota Sultan Kerajaan Kutai yang terbuat dari emas dengan bobot 1.98 kg yang sekarang tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Ketopong Sultan Kutai ini ditemukan pada tahun 1890 di daerah Muara Kaman, Kutai Kartanegara, sementara yang dipajang di Museum Mulawarman merupakan Ketopong tiruan. mahkota ini pernah dipakai oleh Sultan Aji Muhammad Sulaiman dari tahun 1845 sampai 1899 dan juga dikenakan oleh Sultan Kutai Kartanegara, selain terbuat dari emas, mahkota ini juga dilengkapi dengan permata.

3. Kalung Ciwa

Kalung Ciwa merupakan peninggalan berikutnya dari Kerajaan Kutai yang berhasil ditemukan di masa pemerintahan Sultan Aji Muhammad Sulaiman pada tahun 1890 oleh salah satu penduduk sekitar Danau Lipan, Muara Kaman. Kalung Ciwa sampai saat ini masih dipergunakan untuk perhiasan kerajaan dan sudah pernah dipakai Sultan pada masa penobatan Sultan yang baru.

4. Tali Juwita

Tali Juwita merupakan peninggalan dari Kerajaan Kutai yang mewakilkan simbol 7 muara serta 3 anak sungai yakni sungai Kelinjau, Belayan dan juga Kedang Pahu di Sungai Mahakam. Tali Juwita ini dibuat dari 21 hela benang dan biasanya dipakai pada upacara adat Bepelas.

Utasan tali ini terbuat dari emas, perak dan juga perunggu dengan hiasan 3 bandul berbentuk gelang dan 2 buah permata mata kucing serta barjat putih dan untuk bandul lain berbentuk lampion dengan hiasan 2 bandul berukuran kecil. Tali Juwita ini berasal dari kata Upavita yaitu kalung yang diberikan pada raja.

5. Pedang Sultan Kutai

Peninggalan Kerajaan Kutai selanjutnya adalah pedang sultan kutai. Pedang Sultan Kutai terbuat dari emas padat dan pada bagian gagang diukir gambar seekor harimau yang sedang siap untuk menerkam, sedangkan pada ujung sarung pedang berhiaskan seekor buaya dan kini pedang Sultan Kutai disimpan di Museum Nasional Jakarta.

6. Gamelan Gajah Prawoto

Seperangkat gamelan juga disimpan pada Museum Mulawarman dan gamelan gamelan tersebut diyakini berasal dari Pulau Jawa. Selain itu, juga ada berbagai barang lain seperti pangkon, keris, topeng, wayang kulit dan beberapa barang yang terbuat dari kuningan serta perak yang menjadi peninggalan dari Kerajaan Kutai yang juga menjadi bukti hubungan erat terjalin antara Kerajaan di daerah Jawa dengan Kerajaan Kutai Kartanegara.

Awal Mula Berdirinya Kerajaan Singasari Dan Masa Kejayaan Serta Penyebab Runtuhnya Kerajaan Singasari



  Kerajaan Singasari berawal dari daerah Tumapel, yang dikuasai oleh seorang akuwu (bupati). Letaknya di daerah pegunungan yang subur di daerah Malang dengan pelabuhannya yang bernama Pasuruan. Dari daerah itulah Singasari berkembang menjadi sebuah kerajaan besar di Jawa Timur. Perkembangan yang pesat itu dialami oleh Singasari setelah berhasil mengalahkan Kediri.

Kisah mengenai sejarah kerajaan Singasari diwarnai peperangan, pengkhianatan dan balas dendam. Sejarah mengenai awal mula berdirinya kerajaan ini diuraikan dalam kitab Pararaton. Meskipun berupa dongeng masyarakat Jawa, Pararaton dibuat berdasarkan apa yang telah terjadi dan dipercaya oleh masyarakat zaman itu. Sehingga masih bisa dipercaya sekalipun banyak ahli sejarah yang tidak menyukai referensi dari kitab Pararaton.

Pada tahun 1254 terjadi perseteruan antara Kertajaya raja Kerajaan Kadiri melawan kaum brahmana. Para brahmana lalu menggabungkan diri dengan Ken Arok yang mengangkat dirinya menjadi raja pertama Tumapel bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Perang melawan Kerajaan Kadiri meletus di desa Ganter yang dimenangkan oleh pihak Tumapel.

Nagarakretagama juga menyebut tahun yang sama untuk pendirian Kerajaan Tumapel, namun tidak menyebutkan adanya nama Ken Arok. Dalam naskah itu, pendiri kerajaan Tumapel bernama Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra yang berhasil mengalahkan Kertajaya raja Kerajaan Kadiri.

Prasasti Mula Malurung atas nama Kertanagara tahun 1255, menyebutkan kalau pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa. Mungkin nama ini adalah gelar anumerta dari Ranggah Rajasa, karena dalam Nagarakretagama arwah pendiri kerajaan Tumapel tersebut dipuja sebagai Siwa. Selain itu, Pararaton juga menyebutkan bahwa, sebelum maju perang melawan Kerajaan Kadiri, Ken Arok lebih dulu menggunakan julukan Bhatara Siwa.

- Masa Kejayaan Kerajaan Singasari

Kerajaan Singosari mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara. Kecerdasan Kertangegara adalah beliau mampu melakukan konsolidasi dan bisa menempatkan para pejabat dengan kemampuan yang sesuai pada tugasnya. Ketegasan Raja Kertanegara juga sangat berperan di sini, karena ia tak segan untuk mengganti pejabat yang tidak berkualitas. Dengan cara ini, Singasari menjadi sebuah kerajaan yang tangguh dan memiliki ketahanan di berbagai bidang secara berkesinambungan.

Kerajaan Singasari belum dikenal saat Anusapati menjadi raja. Nama tersebut baru dikenal di tahun 1253 Masehi. Perpindahan nama kerajaan tersebut sebenarnya terjadi secara tidak resmi. Raja Wisnuwardhana yang menyerahkan tahta yuwaraja kepada Raja Kertanegara memperbolehkan Kertanegara memindahkan ibukota kerajaan. Pada awalnya Kerajaan Tumapel yang beribukota di Kutaraja dipindahkan ke Singasari yang sekarang menjadi bagian dari daerah Malang.

Orang lebih senang menyebut kerajaan yang sudah berpindah ibukota tersebut dengan nama Kerajaan Singasari. Hal ini berkaitan juga dengan Raja Kertanegara yang menjadi satu-satunya Raja Singasari yang mendapatkan tampuk kekuasaan tanpa pertumpahan darah dan peperangan. Terlebih lagi di tangan Kertanegara, Singasari berada di titik puncak kekuasaannya.

Kebenaran kekuasaan damai yang didapatkan Kertanegara dibuktikan oleh catatan sejarah di prasasti Kudadu. Ken Arok yang menjadi pendiri Kerajaan Singasari mendirikan wangsa sendiri bernama wangsa rajasa. Wangsa ini menempatkan Kertanegara sebagai raja pamungkas Singasari sekaligus raja pertama yang membuat kerajaan di Jawa Timur terlibat hubungan dengan raja luar negeri. Kekuasaannya berada di sepanjang tahun 1268 hingga 1292.


- Penyebab Runtuhnya Kerajaan Singasari

Pada 1289 utusan Khubilai Khan datang ke Singasari. Utusan tersebut bernama Meng-chi. Maksud kedatangan utusan kerajaan Mongol tersebut tidak lain tidak bukan untuk menawarkan pengakuan Kerajaan Singasari sebagai kerajaan bawahan Kerajaan Mongol. Kertanegara, raja Singasari waaktu itu, merasa tersinggung dan menolak penawaran tersebut. Tidak cuma itu, Kertanegara juga melukai Meng-chi. Penganiayaan terhadap utusan Khubilai Khan dianggap sebagai penghinaan besar bagi Kerajaan Mongol. Oleh sebab itu, Khubilai Khan, Raja Mongol saat itu, memerintahkan untuk mengirim tentara yang kuat untuk menyerang dan menaklukan Jawa pada awal 1292.

Untuk menghalau pasukan Mongol yang akan datang ke Jawa, Kertanegara memerintahkan sebagian besar pasukannya ke tanah Sumatera. Hal itu membuat ibu kota kerajaan Singasari melemah, karena hanya dijaga oleh sebagian kecil pasukan kerajaan. Melihat hal itu, Jayakatwang, Raja dari Tumapel yang merupakan kerajaan bawahan Singasari, bermasuk mengambil kesempatan tersebut untuk memberontak dan merebut kekuasaan dari Kertanegara. Serangan dilancarakan oleh Jayakatwang dari dua arah, yakni dari arah utara merupakan pasukan pancingan dan dari arah selatan merupakan pasukan inti.

Pasukan Kediri dari arah selatan dipimpin langsung oleh Jayakatwang dan berhasil masuk istana dan menemukan Kertanagera berpesta pora dengan para pembesar istana. Serangan Jayakatwang diluncurkan antara pertengahan Mei dan pertengahan Juni 1292. Dari serangan itu, Jayakatwang berhasil mengalahkan Singasari dan merebut seluru wilayah kekuasaanya. Pada 1292 seluruh kerajaan Singasari didominasi oleh Jayakatwang. Jayakatwang menjadi raja dan membangun ibukota baru di Kediri.

Runtuhnya kerajaan Singasari menciptakan babak baru, dimana menantu Kertanegara, Raden Wijaya yang merupakan keturunan Ken Arok (pendiri kerajaan Singasari) berhasil lolos dari maut. Raden Wijaya diampuni oleh Jayakatwang dan diberikan sebidang tanah di Hutan Tarik yang kemudian didikran desa bernama Majapahit. Dari desa itulah, nanti akan berkembang menjadi Kerajaan terbesar di Nusantara, yaitu Kerajaan Majapahit.

Baca juga Awal Mula Berdirinya Kerajaan Majapahit

- Peninggalan Kerajaan Singasari

Berikut adalah beberapa peninggalan Kerajaan Singasari:


a. Candi Singosari
b. Candi Jago
c. Candi Sumberawan
d. Candi Jawi
e. Candi Kidal
f. Arca Dwarapala
g. Prasasti Manjusri
h. Prasasti Mula Malurung
i. Prasastri Singosari
j. Prasasti Wurare


- Raja Raja Yang Memerintah Kerajaan Singasari



Ken Arok adalah pendiri kerajaan Singasari dan merupakan raja pertama kerajaan Singasari. Sebagaimana Ken Arok dalam mendirikan kerajaan Singasari ini yang diwarnai dengan pembu.nuhan sebelum dia mencapai tahta raja, begitu pula pada masa pengganti-penggantinya Ken Arok. Berikut adalah nama-nama raja di kerajaan Singasari

1. Ken Arok (1222–1227 M)
2. Anusapati (1227–1248 M)
3. Tohjoyo (1248 M)
4. Ranggawuni (1248–1268 M)
5. Kertanegara (1268-1292 M)


Awal Mula Terbentuk Kerajaan Majapahit, Serta Peninggalan Setelahnya



Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan dianggap sebagai kerajaan terbesar dalam sejarah Indonesia. Menurut Negarakertagama, kekuasaannya terbentang dari Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, hingga Indonesia timur, meskipun wilayah kekuasaannya masih diperdebatkan.

- Awal Mula Terbentuk nya kerajaan Majapahit

Sebelum berdirinya Majapahit, Singhasari telah menjadi kerajaan paling kuat di Jawa. Hal ini menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan yang bernama Meng Chi ke Singhasari yang menuntut upeti. Kertanagara, penguasa kerajaan Singhasari yang terakhir menolak untuk membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut dengan merusak wajahnya dan memotong telinganya. Kubilai Khan marah dan lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293.

Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah menggulingkan dan membunuh Kertanegara. Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara, yang datang menyerahkan diri. Kemudian, Wiraraja mengirim utusan ke Daha, yang membawa surat berisi pernyataan, Raden Wijaya menyerah dan ingin mengabdi kepada Jayakatwang.  Jawaban dari surat di atas disambut dengan senang hati. Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa "pahit" dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongol tiba, Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol untuk bertempur melawan Jayakatwang. Setelah berhasil menjatuhkan Jayakatwang, Raden Wijaya berbalik menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya secara kalang-kabut karena mereka berada di negeri asing. Saat itu juga merupakan kesempatan terakhir mereka untuk menangkap angin muson agar dapat pulang, atau mereka terpaksa harus menunggu enam bulan lagi di pulau yang asing.

Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit adalah hari penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 saka yang bertepatan dengan tanggal 10 November 1293. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi masalah. Beberapa orang terpercaya Kertarajasa, termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi memberontak melawannya, meskipun pemberontakan tersebut tidak berhasil. Pemberontakan Ranggalawe ini didukung oleh Panji Mahajaya, Ra Arya Sidi, Ra Jaran Waha, Ra Lintang, Ra Tosan, Ra Gelatik, dan Ra Tati. Semua ini tersebut disebutkan dalam Pararaton. Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yang melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang tepercaya raja, agar ia dapat mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun setelah kematian pemberontak terakhir (Kuti), Halayudha ditangkap dan dipenjara, dan lalu dihukum mati. Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309.

Kemudian pengganti Raden Wijaya sendiri tidak lain adalah anaknya sendiri bernama Jayanegara yang masih berumur 15 tahun. Berbeda sekali dengan ayahnya, Jaya negara sama sekali tidak memiliki keahlian dalam memimpin kerajaan, hingga akhirnya Jayanegara dijuluki dengan sebutan “Kala Jamet” yang berarti lemah dan jahat.

Disaat pemerintahan Jayanegara terjadi banyak sekali pemberontakan dari orang-orang kepercayaannya yang disebabkan karena kurang tegasnya Jayanegara dalam Memimpin kerajaan. Salah satu pemberontakan yang hampir menjatuhkan Jayanegara adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Ra Kuti.

Akan tetapi pemberontakan tersebut dapat dipadamkan oleh Gajah Mada dan ia berhasil menyelamatkan Jayanegara ke sebuah desa bernama Badaran. Di desa tersebut Jayanegara berhasil dibunuh oleh seorang tabib bernama Tancha saat Jayanegara dioperasi. Hal ini disebabkan karena tabib tersebut memiliki dendam terhadap Jayanegara, dan kemudian tabib tersebut ditangkap dan dibunuh oleh Gajah Mada.

Saat itu karena Jayanegara tidak memiliki keturunan, kemudian pemerintahan Majapahit digantikan oleh adiknya bernama Gayatri yang bergelar Tribuana Tunggadewi.  Dalam masa pemerintahannya ia hanya memimpin Majapahit dari tahun 1328-1350 saja. Selama ia memimpin juga terjadi banyak sekali pemberontakan, namun pemberontakan tersebut dapat dipatahkan oleh Gajah Mada.

Atas jasanya tersebut, Gajah Mada kemudian diangkat menjadi Mahapatih Majapahit. Setelah itu kemudian Gajah Mada mengucap sebuah sumpah yang dikenal dengan “Sumpah Palapa”. Adapun bunyi dari sumpah tersebut adalah “Gajah Mada pantang bersenang-senang sebelum menyatukan Nusantara”, tak lama dari sumpah tersebut kemudian Tribuana Tunggadewi meninggal pada tahun 1350 M.

Setelah Tribuana Tunggadewi meninggal, kemudian ia digantikan oleh Hayam Wuruk. Dimasa inilah Kerajaan Majapahit berada dalam pada masa keemasannya. Yang mana kerajaan tersebut hampir menaklukan semua wilayah Nusantara.

Pada masa kepemimpinan Hayam Wuruk, semua sistem pemerintahan dan birokrasi di Kerajaan Majapahit berjalan dengan teratur sesuai yang telah ditentukan. Sistem Birokrasi di Majapahit saat itu antara lain:

- Raja yang memimpin di kerajaan saat itu dianggap penjelmaan dewa oleh masyarakat dan memiliki hak tertinggi dalam kerajaan.
- Rakryan Mahamantri Kartini biasanya dijabat oleh putra-putra raja.
- Dharmadyaksa yang merupakan pejabat hukum pemerintahan dalam kerajaan.
- Dharmaupattati merupakan pejabat dibidang keagamaan dalam kerajaan.


Selain itu pembagian wilayah dalam Kerajaan Majapahit pun juga deilakukan dengan teratur yang disusun oleh Hayam Wuruk. Adapun pembagiannya sebagai berikut:

- Bhumi, yang merupakan kerajaan dengan raja sebagai pemimpinnya.
- Negara, yang setingkat dengan propinsi dengan pemimpinnya yaitu raja atau natha juga sering disebut dengan bhre.
- Watek, setingkat dengan kabupaten yang dipimpin oleh Wiyasa.
- Kuwu, setingkat dengan kelurahan yang pemimpinannya bernama lurah.
- Wanua, setingkat dengan desa yang dipimpin oleh Thani.
- Kabuyutan, setingkat dengan dusun atau tempat-tempat sacral.

Runtuhnya kerjaan Majapahit

Sejarah kerajaan majapahit hingga runtuh bisa dilihat dari masa keemasannya pada abad ke 14. Dimana setelah masa itu, kekuasaan Majapahit semakin melemah. Apalagi dengan wafatnya Hayam Wuruk tahun 1389. Kemunduran Majapahit juga dikarenakan adanya perebutan tahta. Sekedar informasi, pewaris tahta Kerajaan Majapahit adalah putri mahkota Kusumawardhani. Putri Hayam Wuruk tersebut menikahi sepupunya sendiri yakni pangeran Wikramawardhana. Selain itu, Hayam Wuruk juga mempunyai seorang putra yang diperoleh dari selirnya yang bernama Wirabhumi. Dimana sang pangeran tersebut juga menuntut haknya menjadi Raja. Akhirnya, peperangan antar saudara yang dikenal dengan sebutan Perang Paregreg tidak bisa dielakkan lagi. Dimana pada tahun 1405-1406, Wirabhumi melakukan perlawanan dengan Wikramawardhana. Namun akhirnya, perang ini dimenangi oleh Wikramawardhana. Perkiraan waktu kerajaan Majapahit runtuh adalah pada tahun 1478.


Beberapa Peninggalan Kerajaan Majapahit

- Candi Penataran yang ada di Blitar.
- Candi Surawangi.
- Candi Bajang Ratu.
- Candi Sawentar.
- Candi Jabung yang ada di Probolinggo.
- Candi Tikus yang ada di Trowulan.
- Candi Telagawangi.
- Candi Sumberjati.
- Candi Sukuh yang ada di lereng Gunung Lawu.
- Candi Kedaton yang ada di Besuki.
- Karya seni sastra yang ditinggalkan yakni Negarakertagama yang merupakan karya Empu Prapanca.
- Sutasoma dan Arjunawijaya karya Empu Tantular.


Beberapa Raja Yang Pernah Memimpin di Majapahit

a. Raden Wijaya (1293-1309)
b. Jayanegara (1309-1328)
c. Tribuana Tungga Dewi (1328-1350)
d. Hayam Wuruk (1350-1389)
e. Kusumawardani-Wikramawardhana (1389-1399)
f. Suhita (1399-1429)
g. Bhre Tumapel (Kertawijaya)- (1447-1451)
h. Rajasawardhana (1451—1453)
i. Purwawisesa (1456-1466)
j. Kartabumi (1466-1478)
h. Girindrawardhana (1478-1498)

Latar Belakang Meletusnya Perang di Aceh Serta Dampak Setelahnya



Perang Aceh adalah perang Kesultanan Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 hingga 1904. Kesultanan Aceh menyerah pada januari 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut.

Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Pada 5 April 1873, Belanda mendarat di Pante Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Köhler saat itu membawa 3.198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para perwira.


- Latar Belakang Perang Aceh

Aceh memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan. Aceh banyak menghasilkan lada dan tambang serta hasil hutan. Oleh karena itu, Belanda berambisi untuk mendudukinya. Sebaliknya, orang-orang Aceh tetap ingin mempertahankan kedaulatannya. Sampai dengan tahun 1871, Aceh masih mempunyai kebebasan sebagai kerajaan yang merdeka.

Situasi ini mulai berubah dengan adanya Traktrat Sumatra (yang ditandatangani Inggris dengan Belanda pada tanggal 2 November 1871). Isi dari Traktrat Sumatra 1871 itu adalah pemberian kebebasan bagi Belanda untuk memperluas daerah kekuasaan di Sumatra, termasuk Aceh. Dengan demikian, Traktrat Sumatra 1871 jelas merupakan ancaman bagi Aceh.
Karena itu Aceh berusaha untuk memperkuat diri, yakni mengadakan hubungan dengan Turki, Konsul Italia, bahkan dengan Konsul Amerika Serikat di Singapura. Tindakan Aceh ini sangat mengkhawatirkan pihak Belanda karena Belanda tidak ingin adanya campur tangan dari luar. Belanda memberikan ultimatum, namun Aceh tidak menghiraukannya. Selanjutnya, pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda memaklumkan perang kepada Aceh.

Perang Aceh I (1873-1874)

Sebelum perang meletus, Aceh telah mengadakan hubungan dengan luar negeri (Turki, Inggris, Amerika dan Perancis) tetapi mengalami kegagalan. Penguasa Aceh sudah memprediksi tentang kemungkinan politik Belanda yang keras terhadap Aceh.

Pada tanggal 23 Maret 1873, datang ekspedisi Belanda yang pertama dibawah pimpinan Mayor Jenderal J.H.R. Kohler, Kohler mengirimkan ultimatum perang terhadap Aceh. Secara diplomatis Sultan Aceh menolak ultimatum tersebut, sehingga Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873. (Sartono Kartodirdjo,1987:80)

Serangan pertama dibawah pimpinan Kohler dengan tujuan menguasai Masjid Raya dan Kraton. Masjid Raya dapat diduduki oleh Belanda dan dijadikan tangsi militer. Dalam pertempuran memperebutkan Masjid Agung di ibukota Aceh pada tanggal 14 April 1873, pemimpin pasukan Belanda Jenderal Kohler dapat ditewaskan oleh pasukan Aceh. Tiga hari setelah Kohler tewas, Belanda mengundurkan diri ke pantai dan setelah mendapatkan izin dari pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 23 April untuk kembali ke Pulau Jawa, mereka lalu mengangkat sauh meninggalkan Aceh pada tanggal 29 April 1873.
Pada 24 Januari 1874 Belanda berhasil menduduki istana, tapi Sultan tanggal 15 Januari telah mengosongkannya dan bersama-sama Teuku Baid menuju Luengbata. Karena serangan kolera ia mangkat disana pada tanggal 28 Januari 1874.

Pada tanggal 31 Januari 1874, Letnan Jenderal J. van Swieten memproklamasikan bahwa kerajaan Aceh sudah ditaklikan dan daerah Aceh Besar dinyatakannya menkadi milik pemerintah Hindia Belanda. Belanda menyangka bahwa dengan pendudukan istana, dengan menguasai sebagian kecil dari daerah Aceh Besar dan dengan secarik kertas proklamasi sudah cukup untuk membuat Aceh bertekuk lutut. Tetapi perlawanan rakyat Aceh melalui perang gerilya masih terus berlanjut.


 Perang Aceh II (1880-1890)

Kelesuan semangat perjuangan Aceh mendapatkan angina segar dengan tampilnya tokoh Teungku Hadji Saman dari Tiro kemudian dikenal dengan nama Teungku Chik di Tiro bertindak sebagai panglima besar dalam peperangan ini dan bertugas menghimpun pejuang-pejuang Aceh yang berada di daerah-daerah yang berbeda.

Pada tahun 1881 Van der Heyden pulang ke Jawa, pemerintahan diserahkan kepada gubernur Van der Hoeven, taktik operasional Belanda mulai dirubah dengan taktik defensive, untuk meringankan biaya perang. Untuk menjaga keamanan di daerah Aceh Besar dilancarkan taktik garis konsentrasi yang berlangsung selama tahun 1884-1896. Sistem ini oleh para pejuang Aceh, tidak dihiraukan. Para pejuang itu dapat dengan mudah masuk ke daerah kekuasaan Belanda dan menyerang benteng-benteng di wilayah tersebut.
Peristiwa “Hok Canton” pada tahun 1886 berlabuhlah kapal Inggris “Hok Canton” dengan tujuan mmbeli lada dan menjual senjata secara gelap. Teuku Umar yang berkuasa di Aceh Barat menyergap kapal tersebut serta merampas isinya. Peristiwa ini menarik dunia internasional, kini dunia tahu apa yag sebenarnya terjadi antara Aceh dan Belanda.

Tahun 1889 Sultan Daud mencoba mengajak para pemimpin-pemimpin perang Aceh berdamai dengan Belanda, tetapi ajakan ini ditolak oleh mereka dan perang tetap berlangsung. Pada tahun 1891 Teungku Chik di Tiro wafat karena diracun oleh mata-mata utusan Belanda.

Perang ketiga [1881-1896], perang dilanjutkan secara gerilya & dikobarkan perang fisabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904. Perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim & Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.

Perang Aceh Keempat
Perang keempat [1896-1910] ialah perang gerilya kelompok & perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan & pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan.


Akhirnya dari perang aceh

Para pejuang Aceh masih memiliki benteng yang tak terkalahkan yaitu Benteng Batee Ilie. Ketika benteng ini diserang Belanda pejuang Aceh mempertahankan benteng ini dengan semangat yang luar biasa. Disini terjadi pertempuran sengit, Akhirnya Benteng ini dapat dikuasai Belanda pada tahun 1899. Dengan jatuhnya benteng ini situasi perang semakin menurun.
Kedudukan Sultan sudah sangat terjepit akibat kepungan-kepungan Belanda, Pada tahun 1903 maka menyerahlah Sultan Sigli dan Panglima Polim di Lho Seumawe. Para pemimpin tinggi Aceh yang telah menyerah itu diharuskan menandatangani Pelakat Aceh, yang kemudian pelakat ini dikenal dengan nama Pelakat Pendek (Korte Verklaring). Yang isinya:

1.Kedaulatan Belanda Harus diakui.
2.Tak akan mengadakan hubungan dengan luar ngeri.
3.Patuh akan perintah-perintah Belanda.
Walaupun pkalat ini isinya pendek, tetapi mengandung makna yang dalam yaitu penyerahan total kepada Belanda.

Menyerah secara de facto. Pada tahun 1904 secara umum dianggaplah perang Aceh telah selesai. Nama Van Heutsz makin menanjak karena sukses ini, dan dia diangkat menjadi Gubernur Hindia Belanda. Dan Van Daalen diangkat sebagai gubernur Aceh (1904). (Nyoman Deker, 1974:146-147)
Sebenarnya perlawanan rakyat Aceh masih terus berjalan sampai Jepang tiba di Indonesia. Kadang perlawanan ini bersifat kelompok kadang juga bersifat individual sasarannya tetap penjajah kafir.

Demikianlah perang yang terjadi di Aceh yang mengorbankan putra-putra tanah Aceh seperti Teungku Umar, Panglima Polim, teungku Cik di Tiro, Tjut Nyak Dien, Tjut Mutiah, Tuanku Muhammad Dawodsyah dan rakyat Aceh yang dapat kita anggap sebagai tokoh perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia.





Peristiwa Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya




  Pertempuran Surabaya adalah salah satu pertempuran terbesar yang terjadi pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Pertempuran antara pasukan Indonesia melawan pasukan sekutu, tidak lepas kaitannya dengan peristiwa yang mendahuluinya, yaitu perebutan kekuasaan dan senjata tentara Jepang. Perebutan senjata telah dimulai sejak tanggal 2 September 1945. Pada akhirnya perebutan senjata ini membangkitkan suatu pergolakan, yang berubah menjadi situasi revolusi yang menegangkan.

Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, lantas tidak serta merta rakyat Indonesia seutuhnya bisa lepas dari belenggu orang Barat (Belanda). Hal ini karena Belanda menganggap bahwa kemerdekaan yang dilakukan oleh Soekarno–Hatta (atas inisiatif para pemuda) hanyalah buatan Jepang semata dan bagi mereka kemerdekaan tersebut tidak sah. 

Kedatangan tentara Sekutu ke Indonesia tanggal 25 Oktober 1945 dengan ditemani NICA (tentara Belanda) membuat rakyat Indonesia pada saat itu menaruh rasa curiga kepada tentara-tentara Eropa. Awalnya, kedatangan Sekutu hanya untuk melucuti (merampas senjata) tentara Jepang, karena saat itu masih banyak tentara Jepang yang berada di Indonesia. Namun, karena Sekutu datang bersama tentara Belanda, tentu pasti ada maksud terselubung dibalik kedatangan mereka. Akibat terbunuhnya Jendral Mallaby di Surabaya tepatnya disekitar Gedung Internatio pada tanggal 30 Oktober 1945, pihak Sekutu (Inggris dan Belanda) beralasan bahwa terbunuhnya Jendral Mallaby adalah ulah rakyat Indonesia, pihak Sekutu tidak menerima insiden tersebut dan menganggap rakyat Indonesia telah mengingkari perjanjian-perjanjian yang sudah disepakati sebelumnya.

Terbunuhnya Mallaby di Surabaya membuat Sekutu geram, mereka kemudian memberikan
ultimatum kepada rakyat Indonesia untuk segera meletakkan seluruh senjata dan memberikannya kepada tentara Sekutu, mulai dari tentara TKR maupun rakyat biasa wajib menyerahkan senjata kepada Sekutu, ultimatum ini diberikan oleh Mayjend. EC. Mansergh pengganti Jendral Mallaby.

Rakyat Indonesia menganggap hal itu merupakan tuduhan yang tidak bisa dibuktikkan kebenarannya, terlebih bagi rakyat Surabaya karena wilayah ini merupakan wilayah dari negara Indonesia mengapa rakyat kita yang harus patuh terhadap mereka (Sekutu). Jika Sekutu beralasan rakyat Indonesia yang mengingkari kesepakatan dan membuat terbunuhnya Jend. Mallaby, lalu bagaimana dengan perjanjian-perjanjian kecil yang sebelumnya sudah disepakati bersama antara Sekutu dan pemimpin Indonesia (yang saat itu diwakili oleh Gubernur Suryo dan Mayjen Mustopo)?

Bagi rakyat Surabaya mereka justru yang terlebih dahulu mengingkari perjanjian-perjanjian pada tanggal 25, 26, 27 Oktober 1945 dengan menyebarkan selembaran/pamflet yang berisikan propaganda dan membebaskan semua tawanan Belanda tanpa se-izin dari pemerintah Surabaya

Menanggapi ultimatum dari pihak Sekutu sebenarnya para pemimpin Indonesia yang saat itu diwakili oleh Jend. Sudirman, Mangundiprodjo, dan Gubernur Suryo meminta agar pihak Sekutu mencabut ultimatumnya, namun permintaan tersebut ditolak oleh Sekutu dan buntut dari penolakan itu, yaitu terjadinya sebuah peristiwa pertempuran yang terjadi pada tanggal 10 November 1945.

Pada tanggal 10 November 1945 tentara Sekutu mulai melancarkan serangan besa-besaran kepada rakyat Indonesia dengan kekuatan persenjataan yang sangat canggih, mereka mengerahkan 30.000 serdadu, 50 pesawat terbang, dan sejumlah besar kapal perang. Sekutu menyerang dan memborbardir kota Surabaya baik melalui darat, udara bahkan laut, sedangkan usaha dari rakyat Indonesia khususnya rakyat Surabaya untuk melawan tentara Sekutu yang terdiri dari beberapa pejuang non kemiliteran buatan pemerintah, seperti BPRI, Hizbullah, Sabilillah atau pun rakyat non organisasi berjuang bersama. Pada saat itu para pejuang Surabaya menggunakan alat persenjataan seadanya, jumlah rakyat Indonesia yang terlibat sekitar ratusan ribu orang baik itu tentara maupun sukarelawan. Para pejuang yang terlibat dikomandoi oleh Bung Tomo, KH. Hasyim Ashari, KH. Wahab Chasbullah dan KH. Masykur. Ketika pertempuran berlangsung, para pejuang banyak membuat musuh merasa keteteran, Sekutu mengira untuk mengalahkan rakyat yang baru merdeka hanya butuh waktu tiga hari saja, namun peristiwa ini berlangsung sekitar dua minggu bahkan satu bulan.

Pertempuran terakhir terjadi di Gunungsari, pada tanggal 28 November 1945, namun perlawanan secara sporadis masih dilakukan setelah itu. Sebagai penghormatan atas jasa para pahlawan yang dengan berperang dengan gigih melawan Sekutu di Surabaya, tanggal 10 November 1946 Soekarno menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan.

Tindakan Inggris untuk menghukum pasukan Indonesia di Surabaya, dianggap Mansergh sebagai hukuman yang pantas atas pelanggaran terhadap peradaban. Akan tetapi, tindakan yang dilakukan oleh Inggris pada tanggal 10 November, justru mencerminkan tindakan pelanggaran terhadap peradaban dan kemanusiaan secara nyata. Kematian Mallaby seakan hanya dijadikan Casus Belli, untuk menghancurkan kekuatan militer Indonesia di Surabaya.

Selain itu, pertempuran Surabaya, dimanfaatkan untuk memenuhi perjanjian bilateral mereka dengan Belanda serta menjalankan keputusan Konferensi Yalta yakni pengembalian situasi pada Status Quo, seperti sebelum invasi Jepang.

Pertempuran Surabaya berakhir dengan kekalahan pihak Indonesia. Akan tetapi, perang tersebut membuktikan bahwa rakyat Indonesia rela berkorban demi mempertahankan kemerdekaan mereka, meskipun harus dibayar dengan nyawa

Namun, akhir dari peristiwa 10 November ini rakyat Surabaya tetap gagal dalam usaha mempertahankan kota Surabaya dan kemerdekaan RI. Rakyat Surabaya terpaksa merelakan kota tersebut jatuh ke tangan pihak Sekutu khususnya Belanda dan sekitar 16.000 korban terwas bagi Indonesia. Akan tetapi, dampak dari peristiwa 10 November 1945 membuat para pejuang dari seluruh daerah rela mengorbankan nyawanya hanya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, yang secara tidak langsung rasa Nasionalisme dan Patriotisme rakyat kita menular ke berbagai lapisan daerah dengan berbagai macam peristiwa lainnya pada masa revolusi.


Sejarah Peristiwa Proklamasi 17 Mei 1949 diKalimantan




  Pemerintah dan masyarakat Kalimantan Selatan memperingati hari Proklamasi Gubernur Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan atau biasa disebut Proklamasi 17 Mei 1949. Peringatan itu selain dimaksudkan untuk mengenang kembali peristiwa bersejarah Proklamasi 17 Mei 1949, juga untuk  menanamkan kesadaran akan semangat dan nilai-nilai kejuangan angkatan 45 sebagaimana telah ditunjukkan para pejuang dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.


Kandangan, salah satu ibu kota di Provinsi Kalimantan Selatan. Siapa yang tak mengenal pesona alamnya yang indah, rindang dan masih asri? Siapa yang tak mengenal wisata kulinernya dodol manis legit dan karaunya Katupat Kandangan? Siapa yang tak mengenal masjid Su’ada Wasah yang lantainya terangkat? Dan siapa menyangka setiap berwisata ke Mawangi dan Loksado pastilah melalui desa Batu Bini dan Kampung Mandapai? Di sanalah, di Mandapai terdapat sebuah monument Proklamasi 17 Mei 1949 yang menyimpan sejuta sejarah dalam perjuangan mempertahankan Kalimantan dari penjajahan Belanda.

Monumen Proklamasi yang bertempat di Jl. Brigjend H. Hasan Basry Km. 12 Mandapai, Desa Batu Bini, Kecamatan Padang Batung, Kabupaten Hulu Sungai Selatan merupakan sebuah bangunan yang sangat bersejarah bagi rakyat dan pejabat di seluruh pelosok Kalimantan Selatan. Disanalah pertama kali proklamasi dikumandangkan yang pertama kali di Kalimantan Selatan bahwa Kalimantan Selatan juga termasuk ke dalam wilayah Indonesia Merdeka. Seorang pemimpin dan pelopornya adalah sama dengan nama jalan yang melintasi Mandapai dari Kandangan Hulu hingga Loksado sebagai dedikasi yang diberikan kepadanya, yaitu TNI ALRI Brigjend. H. Hasan Basry.

Brigjend. H. Hasan Basry yang makamnya di Bundaran Liang Anggang. Siapa menyangka beliau adalah warga banua Bumi Pahuluan Kandangan yang lahir di Desa Karang Jawa. Beliaulah yang  memperjuangkan dan memproklamasikan kemerdekaan wilayah Kalimantan yang kala itu tidak termasuk dalam wilyah Indonesia merdeka dalam perjanjian Linggar Jati. Beliau pulalah yang menjadi pemimpin atau Gubernur ALRI Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan.

Perjuangan Brigjend. H. Hasan Basry sangatlah patut diacungi jutaan jempol oleh rakyat Kalimantan. Kepemimpinan beliau berhasil membawa Kalimantan Selatan kapada wilayah Indonesia merdeka. Beliau sangat berjasa dan sangat pantas menerima gelar Pahlawan Nasional.  Kalau bukan karena beliau kita tidak tahu apa jadinya kampong halaman tercinta kita ini Kandangan bahkan Kalimantan Selatan.

Setiap tahun di Kandangan selalu dilaksanakan upacara peringatan Proklamasi 17 Mei 1949 Divisi IV ALRI Pertahanan Kalimantan. Yang biasanya pastilah Gubernur Kalimantan Selatan, pejabat tinggi di ranah TNI, khususnya TNI AL, Bupati Hulu Sungai Selata dan pejabat-pejabat tinggi lainnya di Pemda Hulu Sungai Selatan maupun Pemprov Kalimantan Selatan.


Awal mula peristiwa 17 Mei 1946


Pada bulan Maret 1949 berlangsung Rapat Umum bertempat di Malutu. Rapat ini dihadiri oleh utusan-utusan dari daerah-daerah di Kalimantan Selatan. Dalam rapat ini Budhigawis sebagai Komisaris Gerakan menjelaskan hal-hal mengenai organisasi, susunannya, dan rencana perjuangan selanjutnya. Selanjutnya terjadi beberapa kali rapat-rapat terbatas dalam rangka penyusunan organisasi. Kemudian pada tanggal 9 ke 10 Mei 1949 berlangsung rapat di Durian Rabung (Padang Batung) yang dihadiri Pimpinan Umum Hassan Basry, Kepala Staf H. Abrani Sulaiman, Korektor Susunan Gusti Aman, P. Arya (Munir), Setia Budi, dan R. Sukadani. Karena terjadi kontak senjata rapat diteruskan besoknya di Pagat Batu, di mana Pimpinan Umum memberi petunjuk agar segala yang direncanakan dan telah dimulai perencanaannya, yakni program perjuangan dan program perbaikan ALRI Divisi IV tersebut, diteruskan di mana saja, dan apabila telah menjadi keputusan/kebulatan pendapat supaya dibawa kepada Pimpinan Umum di Niih untuk mendapatkan keputusan terakhir. Setelah itu kelompok berpisah menjadi 3 bagian. Kelompok Hassan Basry ke Niih, Kelompok H. Abrani Sulaiman dan Budhigawis menuju Kalinduku, Haruyan, dan kelompok Gusti Aman, P. Arya, dan Hasnan Basuki ke Mandapai, Telaga Langsat, Haruyan.

Tiba di Telaga Langsat Gusti Aman, P. Arya dan Hasnan Basuki meneruskan penyusunan program kerja. Susunan yang dihasilkan Pemerintahan berbentuk Gubernur Tentara, yaitu pemerintahan berbentuk militer sesuai dengan situasi perang. Karena pada saat itu sudah diketahui pula tentang adanya Pemerintahan Darurat di Sumatera (karena Yogyakarta Ibukota RI diduduki Belanda), maka perlu suatu pernyataan atau proklamasi bahwa di Kalimantan Selatan telah berdiri suatu Pemerintahan Militer sebagai persiapan menghadapi gagalnya Pemerintahan Darurat di Sumatera serta gagalnya Pemerintahan Pelarian di New Delhi. Sehingga Kalimantan dipersiapkan untuk dijadikan pusat Pemerintahan Republik Indonesia sebagai usaha kelanjutan menegakkan kemerdekaan Republik Indonesia.

  Selanjutnya dalam rapat lanjutan tanggal 15 dan 16 Mei 1949 di Telaga Langsat yang juga kemudian dihadiri H. Abrani Sulaiman dan Romansi, dibahas rumusan tentang teks proklamasi, personalia pemerintahan, program kerja bidang politik dan ekonomi yang akan dijalankan. Teks proklamasi disusun bersama oleh Gusti Aman, P. Arya, H. Abrani Sulaiman dan Budhigawis. H. Abrani Sulaiman menambahkan kata-kata “Kalau perlu diperjuangkan sampai tetesan darah yang penghabisan “. Lengkapnya proklamasi berbunyi:

Latar Belakang Terjadinya Perang Padri dan Sebab Tuanku Imam Bonjol Ditangkap



Gerakan perlawanan menentang penjajahan Belanda yang dilakukan oleh rakyat Sumatera Barat dipimpin oleh "Tuanku Imam Bonjol"
Minangkabau adalah daerah yang indah. Tanahnya yang subur. Adat dan kebiasaan yang berlaku didaerah itu juga kuat. Adat dibawah penghulu adat dan juga raja-raja. Dengan jalan adat, kekuasaan para raja dan juga penghulu adat dapat terus terpelihara dan dipertahankan. Namun karena adat itu pulalah rakyat kebanyakan dirugikan. Mereka tidak bisa bebas berfikir dan merdeka menyuarakan kata hatinya. Semua dibatasi oleh adat. Para raja dan penghulu adat itulah yang berkuasa dan rakyat wajib diperintah dan kehendak mereka.

Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau. Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan.

Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan. Dari catatan Raffles yang pernah mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yang sudah terbakar.


Dalam sejarah perang padri terdapat dua periode yaitu periode pertama dan periode kedua. Untuk perang padri pada periode pertama terjadi antara kaum padri (para ulama) dengan kaum adat. Pada tahun 1815 terjadilah serangan kaum padri kepada kerajaan Pagaruyung. Serangan tersebut dipimpin oleh Tuanku Pasuman. Latar belakang penyerangan kaum padri karena tidak adanya kesepakatan dalam perundingan antara kaum pardi dengan kaum adat. Peperangan yang terjadi membuat kekalahan Sultan Arifin Muningsyah. Kemudian beliau melarikan diri ke Kerajaan.

Sejarah perang padri tidak berhenti begitu saja. Akibat kekalahan dari kaum adat tersebut, kaum adat meminta bantuan kepada Belanda. Akhirnya terciptalah perjanjian Belanda dengan Kerajaan Pagaruyung (atas nama Sultan Tangkal Alam Bagar). Perjanjian tersebut berisi penyerahan kerajaan kepada pihak Belanda. Kemudian dibentuklah penguasa baru yaitu Sultan Tangkal. Pada bulan April 1821, terjadi penyerangan balik oleh kaum adat yang dibantu pihak Belanda. Mereka melakukan serangan di daerah Sulit Air dan Simawang. Akhirnya para kaum padri berhasil di pukul mundur dari daerah Pagaruyung. Kemudian Belanda melakukan pembangunan benteng pertahanan di Batusangkar. Benteng ini dinamakan Fort Ban Der Capellen.

Kaum padri selanjutnya bertempat di kota Lintan. Mereka melakukan penyusunan strategi, memperkuat pasukan, mempertahankan wilayah dari serangan musuh serta menghadang musuh apabila melakukan pergerakan. Dalam sejarah perang padri ini, para kaum padri melakukan perlawanan yang habis habisan. Bahkan kaum adat yang di bantu oleh Belanda sampai kewalahan. Hal tersebut terbukti pada bulan September 1822, mereka mundur menuju Batusangkar. Karena Belanda kesulitan dalam melawan kaum padri akhirnya mereka mengusulkan untuk melaksanakan genjatan senjata. Usulan Belanda tersebut disampaikan kepada Tuanku Imam Bonjol (pimpinan kaum padri) melewati residen yang berada di Padang. Pada tanggal 15 September 1925 dilaksanakan genjatan senjata dengan melakukan Perjanjian Masang.

Sejarah perang padri pada periode pertama ini terbentuklah perjanjian Masang antara kaum padri dengan Belanda. Genjatan senjata tersebut dimanfaatkan oleh Tuanku Imam Bonjol untuk lebih dekat dengan kaum adat serta melakukan pemulihan kekuatan. Usaha tersebut akhirnya membuahkan hasil yaitu kaum adat dapat mempercayai beliau. Kemudian terbentuklah kerjasama Plakat Puncak Pato antara kaum padri dengan kaum adat. Kesepakatan kerjasama ini berlangsung di kota Marapalam. Kerjasama Plakat Puncak Pato berpedoman kepada adat minangkabau yang beragama Islam serta berpedoman kepada Al Qur'an.

Selanjutnya terdapat sejarah perang padri periode kedua. Pada perang padri periode kedua ini terjadi perlawanan antara Belanda dengan gabungan kaum adat dan kaum padri. Peperangan ini berlangsung di kota Minangkabau pada tahun 1833. Belanda kemudian menangkap Sultan Tangkal Bagar karena dianggap sebagai penghianat. Pihak Belanda melawan seluruh masyarakat minangkabau karena kaum adat dan kaum padri sudah bersatu. Pada tahun 1833, Belanda mengeluarkan pengumuman yang isinya bahwa mereka tidak akan menguasai daerah tersebut karena kedatangn Belanda hanya untuk berdagang dan menjaga keamanan Minangkabau. Belanda juga membangun jalan dan sekolah untuk rakyat Minangkabau. Namun rakyat minangkabau harus menanam kopi dan menjualnya kepihak Belanda.

Peperangan dalam sejarah perang padri periode kedua ini berlangsung selama 5 tahun. Belanda melakukan serangan secara beruntun untuk menembus benteng bonjol dan menguasainya. Belanda melakukan pengepungan terhadap benteng bonjol selama kurang lebih 1 tahun. Hal tersebut membuat penyetopan suplai makanan dan senjata kepada pasukan Imam Bonjol. Karena Belanda sulit mengalahkan Imam Bonjol, kemudian ia mengirimkan undangan genjatan senjata. Genjatan senjata tersebut di terima oleh Imam Bonjol dengan pertimbangan yang matang. Genjatan senjata tadi berlangsung selama 14 hari. Bendera putih akan dikibarkan selama terjadinya genjatan senjata. Kemudian Imam Bonjol diundang ke kota Palupuh untuk melakukan perundingan namun tidak diperbolehkan membawa senjata apapun.

Menurut sejarah perang padri, perundingan yang dilakukan oleh Belanda merupakan tipu muslihat agar dapat menangkap Tuanku Imam Bonjol. Penangkapatn tersebut terjadi pada Oktober 1837. Kemudian Imam Bonjol diasingkan ke Manado, Cianjur dan Ambon dalam kurun waktu tertentu. Pengasingan Imam Bonjol berlangsung selama 27 tahun karena pada tanggal 8 November 1864, beliau meninggal dunia. Walaupun benteng Bonjol telah dikuasai Belanda, namun rakyat Minangkabau terus melakukan perlawanan. Pada tanggal 28 Desember 1828, serangan terhadap Belanda dilaksanakan dengan pimpinan Tuanku Tambusai. Namun benteng kaum padri yang terakhir berhasil dikalahkan oleh Belanda. Kemudian mereka berpindah ke wilayah Negeri Sembilan, Semenanjung Malaya. Akhirnya perang padri berakhir dengan kemenangan Belanda melawan kaum padri.


Latar Belakang Dan Penyebab Terjadinya Bandung Lautan Api Serta Dampaknya



 Bandung Lautan Api adalah sebuah situasi di mana para pejuang kemerdekaan Indonesia di Bandung membakar kota Bandung demi upaya untuk mempertahankan kemerdekaan republik Indonesia. Peristiwa Bandung Lautan Api terjadi pada bulan Maret 1946. Pembakaran kota Bandung dilakukan oleh masyarakat sebagai respon perintah dari pihak Sekutu yang menyuruh masyarakat agar mengosongkan kota Bandung. Pembakaran dilakukan oleh sekitar 200 ribu masyarakat, dalam waktu 7 jam. Mereka membakar harta benda dan rumah, selanjutnya pergi meninggalkan kota Bandung.


- Latar Belakang Bandung Lautan Api

Tentara Sekutu memasuki Bandung pada tanggal 17 Oktober 1945 yang dipimpin Jendral Hawtorn. Kedatangan sekutu diboncengi oleh NICA yang dipimpin Kapten Gray. Untuk memperlancar pasukan Sekutu memasuki Bandung, tentara Jepang melakukan pembersihan kota.

Pada tanggal 21 November 1945, sekutu mengeluarkan ultimatum agar rakyat bandung mengosongkan Bandung bagian utara selambat-lambatnya tanggal 29 November 1945. Akan tetapi, ultimatum tersebut ditolak rakyat di Bandung. Akibatnya, terjadi pertempuran besar dan kecil di beberapa tempat di Bandung.

Untuk meredakan ketegangan maka diadakan perundingan antara Republik Indonesia dengan Sekutu pada tanggal 25 November 1945. Hasilnya, kota bandung dibagi nmenjadi dua wilayah dengan batas jalan kereta api, yaitu wilayah utara di bawah penguasaan Sekutu dan wilayah selatan di bawah penguasaan Indonesia. Pada tanggal 7 Januari 1946, Tentara Keamanan Rakyat diganti menjadi Tentara Keselamatan Rakyat (TKR). Kemudian pada tanggal 26 Januari 1946, TKR berubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI).

Pada tanggal 23 Maret 1946, Sekutu mengeluarkan ultimatum kembali yang isinya agar rakyat dan para pejuang mengosongkan Bandung bagian Selatan. Atas perintah pemerintah Indonesia maka bandung bagian Selatan dikosongkan. Pada tanggal 24 Maret 1946, dengan berat hati rakyat dan TRI meninggalkan Kota Bandung bagian Selatan.

Rakyat dan TRI kemudian membumihanguskan seluruh wilayah Bandung bagian selatan. Benteng NICA di Dayeuh Kolot dikepung dan diserang oleh para pejuang Bandung. Dalam peristiwa tersebut, seorang pemuda yang bernama Mohammad Toha mengorbankan diri dengan membawa alat peledak untuk menghancurkan gudang mesiu milik NICA.


- Penyebab Terjadinya Bandung Lautan Api


Bandung Lautan Api terjadi karena datang nya pasukan dari negara Inggris mulai memasuki kota Bandung pada pertengahan bulan Oktober 1945. Di kota kembang pasukan Inggris dan NICA melakukan teror terhadap rakyat sehingga mengakibatkan terjadinya pertempuran.

Memasuki bulan November 1945, pasukan NICA semakin membabi buta di Bandung. Setelah masuknya tentara Inggris yang berasal dari satuan NICA memanfaatkannya untuk mengembalikan kekuasaannya yang sempat hilang atas kota Bandung. Hal ini menyebabkan semangat juang rakyat dan pemuda pemudi yang tergabung dalam TKR dan kelompok perjuangan lainnya semakin berkobar untuk melalukan perlawanan .

Mulai pertempuran skala besar dan kecil terus berlangsung di Bandung. bencana lain yang datang juga terjadi yaitu dengan jebolnya bendungan Sungai Cikapundung yang mengakibatkan dampak bencana banjir besar di kota Bandung. Peristiwa itu terjadi pada malam hari tanggal 25 November 1945. ketika itu kota Bandung dibagi menjadi dua, yakni:

+ Pasukan Sekutu menduduki daerah Bandung Utara
+ Dan Bandung Selatan menjadi daerah Republik Indonesia

Latar belakang bencana Jebolnya tanggul sungai itu dikaitkan dengan aksi teror yang dilakukan oleh NICA sehingga menimbulkan amarah rakyat dan Para pahlawana bandung lautan api melakukan pembalasan

Sesuai dengan kebijakan politik diplomasi pihak Indonesia mengosongkan daerah Bandung Utara tetapi karena pihak Sekutu menuntut pengosongan sejauh 11 kilometer dari Bandung Selatan, akibatnya ber dampak meletusnya pertempuran dan aksi bumi hangus di segala penjuru kota

Kota Bandung terbakar hebat di mulai dari batas timur Cicadas sampai dengan batas barat Andir. di perkirakan 1.000.000 jiwa penduduk kota Bandung mengungsikan diri ke luar kota. Pada tanggal 23 dan 24 Maret 1946 para penduduk meninggalkan kota Bandung yang telah berubah menjadi lautan api.


- Dampak Setelah Peristiwa Bandung Lautan Api


Dampak positif peristiwa Bandung Lautan Api di antaranya, pertama, adanya kekompakan antara pemerintah sipil, TRI dan rakyat dalam melakukan pengungsian dan pembumihangusan. Kekompakan ini bukti dari adanya supremasi pemerintahan sipil, prinsip yang dipegang negara demokrasi. PM Sjahrir menggunakan peristiwa BLA sebagai alat tawar dengan Sekutu-Inggris dalam usaha memperoleh konsesi politik, yaitu pengakuan RI secara de facto.

Dampak negatifnya adalah peristiwa Bandung Lautan Api ini memberikan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat Bandung, karena kerusakan infrastruktur yang terjadi akibat peristiwa itu. Oleh karena rumah rakyat sipil juga terbakar sehingga menyebabkan kerugian bagi rakyat.


Dua tahun setelah terjadinya aksi heroik dari para pejuang Indonesia yang kemudian dikenang sebagai peristiwa Bandoeng Laoetan Api, tepatnya pada tahun 1948, tentara sekutu yakni Belanda berhasil menguasai Bandung pasca dibuatnya Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948.

Pada perjanjian ini, Belanda memaksa pemerintah Republik Indonesia untuk mengosongkan daerah Jawa Baratdari seluruh pasukan Republik Indonesia. Peristiwa ini menyusul kegagalan  Agresi Militer yang dialami oleh pejuang Indonesia pada tanggal 20 Juli sampai 4 Agustus 1947.

Bukan penjajah namanya jika tidak memiliki sifat culas dan curang. Gencatan senjata yang disepakati antara Indonesia dan Belanda dilanggar oleh pasukan Belanda yang terus melakukan aksi penyerangan untuk memporakporandakan basis kekuatan dari tentara Indonesia.

Upaya penggempuran ini dilakukan lebih dari enam bulan lamanya. Akibatnya, pasukan Indonesia dari Divisi Siliwangi akhirnya harus pindah ke Jawa Tengah terhitung mulai awal sampai pertengahan Februari 1948.


Sejarah Asal Usul Partai Komunis Indonesia



Sejarah mengenai Partai Komunis Indonesia sangat komplek. Mulanya partai ini berdiri dengan tujuan-tujuan yang baik bagi perkembangan Indonesia. Dalam bentuk organisasi, Partai Komunis Indonesia didirikan tidak langsung menggunakan nama tersebut. Karenanya, sebelum tahun 1966 PKI memiliki banyak kader pendukung.

Orang-orang Indonesia mengenal PKI lewat kudetanya pada tahun 1965. Namun sepak terjang PKI tidak hanya itu saja. PKI sudah pernah memberikan pengaruh besar terhadap Indonesia. Tidak mudah untuk memadamkan pengaruhnya, bahkan hingga saat ini. Kuku-kuku PKI masih menancap di beberapa jiwa kadernya yang meski kelihatannya telah dibunuhi selalu menyisakan beberapa orang militan PKI.

Kebesaran PKI tidak hanya terdengar di dalam negeri saja. Nama besarnya menempati urutan partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah partai komunis di Uni Soviet dan Cina. Partai ini bukan merupakan partai milik pemerintah. Namun ia berhasil menggalang sekira 3 juta rakyat Indonesia pasca kemerdekaan untuk bergabung di bawah sayap-sayapnya.

Organisasi PKI memang bukan sembarang organisasi. Setiap gerakannya tersusun rapi dan terorganisir dengan baik. Sampai-sampai PKI berhasil menghidupi organisasi-organisasi sayap (underbow)-nya yang digolongkan menjadi organisasi para wanita bernama GERWANI, para pemuda (Pemuda Rakyat), para pelajar (CGMI), para buruh (SOBSI), serta para petani (BTI).

PKI terkenal akan bendera palu aritnya yang membawa dominasi warna merah sebagai lambang kekuasaan yang berani. PKI sendiri berafiliasi dengan komunis internasional yang ketika itu mengusung ideologi Marxisme, Leninisme, dan Komunisme hingga tahun 1943. Di mana ketika itu sejarah runtuhnya Uni Soviet belum terbayangkan sama sekali karena saking kuatnya ketahanan komunis internasional yang sempat berhasil menggentarkan kubu Amerika Serikat.

Komunis sendiri bahkan sempat menyusup ke tubuh kementerian Presiden Soekarno yang mengakibatkan TNI angkatan darat merasa Presiden pertama RI tersebut terkontaminasi paham komunis. Sebagai buktinya, PKI pernah menjadi salah satu partai politik non pemerintah yang dipercaya menyelenggarakan percaturan politik di Indonesia bersama sejarah partai Masyumi, Nahdlatul Oelama, dan sejarah Partai Nasional Indonesia (PNI).


Latar Belakang Berdirinya Partai Komunis Indonesia

Partai ini didirikan atas inisiatif tokoh sosialis Belanda, Henk Sneevliet pada 1914, dengan nama Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) (atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda). Keanggotaan awal ISDV pada dasarnya terdiri atas 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda, yaitu SDAP (Partai Buruh Sosial Demokratis) dan SDP (Partai Sosial Demokratis), yang aktif di Hindia Belanda[1]

Pada Oktober 101 SM ISDV mulai aktif dalam penerbitan dalam bahasa Belanda, "Het Vrije Woord" (Kata yang Merdeka). Editornya adalahAdolf Baars.

Pada saat pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu, ISDV mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari semuanya itu hanya tiga orang yang merupakan warga pribumi Indonesia. Namun demikian, partai ini dengan cepat berkembang menjadi radikal dan anti kapitalis. Di bawah pimpinan Sneevliet partai ini merasa tidak puas dengan kepemimpinan SDAP di Belanda, dan yang menjauhkan diri dari ISDV. Pada 1917, kelompok reformis dari ISDV memisahkan diri dan membentuk partainya sendiri, yaitu Partai Demokrat Sosial Hindia.

Pada 1917 ISDV mengeluarkan penerbitannya sendiri dalam bahasa Melayu, "Soeara Merdeka".

Di bawah kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa Revolusi Oktober seperti yang terjadi di Rusia harus diikuti Indonesia. Kelompok ini berhasil mendapatkan pengikut di antara tentara-tentara dan pelaut Belanda yang ditempatkan di Hindia Belanda. Dibentuklah "Pengawal Merah" dan dalam waktu tiga bulan jumlah mereka telah mencapai 3.000 orang. Pada akhir 1917, para tentara dan pelaut itu memberontak di Surabaya, sebuah pangkalan angkatan laut utama di Indonesia saat itu, dan membentuk sebuah dewan soviet. Para penguasa kolonial menindas dewan-dewan soviet di Surabaya dan ISDV. Para pemimpin ISDV dikirim kembali ke Belanda, termasuk Sneevliet. Para pemimpin pemberontakan di kalangan militer Belanda dijatuhi hukuman penjara hingga 40 tahun.

ISDV terus melakukan kegiatannya, meskipun dengan cara bergerak di bawah tanah. Organisasi ini kemudian menerbitkan sebuah terbitan yang lain, Soeara Ra’jat. Setelah sejumlah kader Belanda dikeluarkan dengan paksa, ditambah dengan pekerjaan di kalangan Sarekat Islam, keanggotaan organisasi ini pun mulai berubah dari mayoritas warga Belanda menjadi mayoritas orang Indonesia.

Pada awalnya PKI adalah gerakan yang berasimilasi ke dalam Sarekat Islam. Keadaan yang semakin parah dimana ada perselisihan antara para anggotanya, terutama di Semarang dan Yogyakarta membuat Sarekat Islam melaksanakan disiplin partai. Yakni melarang anggotanya mendapat gelar ganda di kancah perjuangan pergerakan indonesia. Keputusan tersebut tentu saja membuat para anggota yang beraliran komunis kesal dan keluar dari partai dan membentuk partai baru yang disebut ISDV. Pada Kongres ISDV di Semarang (Mei 1920), nama organisasi ini diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia. Semaoen diangkat sebagai ketua partai.

PKH adalah partai komunis pertama di Asia yang menjadi bagian dari Komunis Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai ini pada kongresnya kedua Komunis Internasional pada 1920.

Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).


Pada November 1926 PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan kolonial di Jawa Barat dan Sumatra Barat. PKI mengumumkan terbentuknya sebuah republik. Pemberontakan ini dihancurkan dengan brutal oleh penguasa kolonial. Ribuan orang dibunuh dan sekitar 13.000 orang ditahan. Sejumlah 1.308 orang, umumnya kader-kader partai, dikirim ke Boven Digul, sebuah kamp tahanan di Papua . Beberapa orang meninggal di dalam tahanan. Banyak aktivis politik non-komunis yang juga menjadi sasaran pemerintahan kolonial, dengan alasan menindas pemberontakan kaum komunis. Pada 1927 PKI dinyatakan terlarang oleh pemerintahan Belanda. Karena itu, PKI kemudian bergerak di bawah tanah.

Rencana pemberontakan itu sendiri sudah dirancang sejak lama. Yakni di dalam perundingan rahasia aktivis PKI di Prambanan. Rencana itu ditolak tegas oleh Tan Malaka, salah satu tokoh utama PKI yang mempunyai banyak massa terutama di Sumatra. Penolakan tersebut membuat Tan Malaka di cap sebagai pengikut Leon Trotsky yang juga sebagai tokoh sentral perjuangan Revolusi Rusia. Walau begitu, beberapa aksi PKI justru terjadi setelah pemberontakan di Jawa terjadi. Semisal Pemberontakan Silungkang di Sumatra.

Pada masa awal pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri, terutama karena banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada 1935 pemimpin PKI Moeso kembali dari pembuangan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam gerakannya di bawh tanah. Namun Moeso hanya tinggal sebentar di Indonesia. Kini PKI bergerak dalam berbagai front, seperti misalnya Gerindo dan serikat-serikat buruh. Di Belanda, PKI mulai bergerak di antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan organisasi nasionalis, Perhimpoenan Indonesia , yang tak lama kemudian berada di dalam kontrol PKI.

Pada tahun 1945, setelah proklamasi kemerdekaan oleh Sukarno dan Mohammad Hatta, PKI kembali muncul untuk berpartisipasi dalam perang kemerdekaan melawan usaha rekolonisasi Belanda. PKI menguasai banyak kelompok bersenjata, kelompok-kelompok ini sering bentrok dengan kelompok bersenjata nasionalis dan Islam, terutama karena keputusan Presiden Sukarno untuk menggunakan perundingan dengan Belanda.

Pada tahun 1948, pimpinan PKI Musso kembali ke Indonesia setelah pengasingan dua puluh tahun di Uni Soviet. Menanggapi Perjanjian Renville yang sangat merugikan yang ditandatangani oleh pemerintah Sukarno tahun itu, PKI bergabung dengan Pesindo dan kiri-PSI dalam membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR). FDR menguasai kota Madiun di Jawa Timur pada bulan September 1948, mendeklarasikan Republik Soviet Indonesia dengan Musso sebagai presiden dan Amir Sjarifuddin sebagai perdana menteri. Di daerah yang berada di bawah kendali mereka, PKI membunuh ribuan nasionalis dan ulama Islam, musuh ideologis mereka.

Namun, tidak ada pemberontakan massa yang mendukung PKI terjadi, sehingga tentara Indonesia dari Divisi Siliwangi di bawah Jenderal Gatot Subroto dengan cepat menghancurkan pemberontakan komunis tersebut, menewaskan ribuan anggota PKI dan menahan 36.000 orang. Pemimpin PKI Musso ditembak mati, sementara Amir Sjarifuddin ditangkap dan kemudian dieksekusi.

Pada tahun 1950 di bawah pimpinan muda Dipa Nusantara Aidit, seorang Melayu Belitung. Aidit mengubah strategi PKI menjadi partai nasionalis anti-Barat sesuai dengan kebijakan Presiden Soekarno. Perubahan kebijakan ini menyebabkan keanggotaan PKI melonjak secara eksponensial, dari 5.000 anggota pada tahun 1950 menjadi 165.000 anggota pada tahun 1954, dan 1,5 juta pada tahun 1959.

Pada pemilihan 1955, PKI meraih posisi keempat, memenangkan 16% suara. Kemunculan komunis tersebut mengkhawatirkan pihak Muslim Masyumi, yang bekerja sama dengan pemimpin militer regional oportunis, CIA, MI-6, dan bahkan pemberontak T-TII radikal Islam dalam meluncurkan pemberontakan PRRI-Permesta pada tahun 1958. Pemberontakan ini, bagaimanapun, dengan cepat hancur oleh tentara Indonesia dibantu oleh relawan PKI.

Pada tahun 1959, Presiden Soekarno membubarkan demokrasi parlementer dan memasang sebuah kediktatoran pribadi. Pada tahun 1960, Sukarno menyatakan bahwa pemerintahannya akan didukung oleh tiga elemen masyarakat Indonesia: Nasionalis, Komunis, dan Agama (Nasionalis, Agamais, Komunis; NASAKOM), yang kemudian memperkuat posisi PKI dalam sistem kediktatoran Sukarno.

Di bawah NASAKOM, PKI mendukung konfrontasi yang berhasil melawan Belanda untuk menguasai Papua Barat. PKI banyak memainkan Presiden Soekarno dalam menyatakan konfrontasi melawan Malaysia, sebuah kebijakan yang diajukan oleh China dan Uni Soviet untuk membantu pemberontakan Partai Komunis Malaya. Pasukan sukarelawan PKI secara aktif berpartisipasi dalam peperangan melawan pasukan Inggris dan Persemakmuran di Sabah dan Sarawak. Secara internasional, PKI mendorong Sukarno untuk menarik diri dari PBB dan menyelaraskan Indonesia dengan China.

Alasan mencetuskan G30S difokuskan pada melawan apa yang disebut „rencana Dewan Jenderal hendak melakukan coup d‘etat terhadap Presiden Sukarno“.[April 2010] Bukan mustahil bahwa kebijaksanaan untuk tidak membubarkan HMI seperti yang dituntut oleh CGMI, juga dianggap sebagai satu rangkaian dari rencana keberhasilan „Dewan Jenderal“, padahal sikap itu sangat jelas adalah sikap Bung Karno dan Kabinet

Memang PKI sudah dirasakan oleh kalangan politik, beberapa bulan menjelang G30S, makin agresif dalam sikap dan tindakannya. Meski pun tidak langsung menyerang Bung Karno, tapi serangan yang sangat kasar misalnya terhadap apa yang disebut „kapitalis birokrat“[April 2010] terutama yang bercokol di perusahaan-perusahaan negara, pelaksanaan UU Pokok Agraria yang tidak menepati waktunya sehingga melahirkan „Aksi Sepihak“ dan istilah ;, „7 setan desa“[April 2010], serta serangan-serangan terhadap pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang dianggap hanya bertitik berat kepada „kepemimpinan“-nya dan mengabaikan „demokrasi“-nya[April 2010], adalah pertanda meningkatnya rasa superioritas PKI[April 2010], sesuai dengan statementnya yang menganggap bahwa secara politik, PKI merasa telah berdominasi.[April 2010] Dilupakannya bahwa seumpama benar dibidang politik partai ini sudah berdominasi, tapi dalam kenyataan sama sekali tidak berhegemoni, sehingga anggapan berdominasi, tidak lebih dari satu ilusi.[April 2010]

Ada pun Gerakan 30 September 1965, secara politik dikendalikan oleh sebuah Dewan Militer yang diketuai oleh D.N. Aidit dengan wakilnya Kamaruzzaman (Syam), bermarkas di rumah sersan (U) Suyatno di komplek perumahan AURI, di Pangkalan Udara Halim. Sedang operasi militer dipimpin oleh kolonel A. Latief sebagai komandan SENKO (Sentral Komando) yang bermarkas di Pangkalan Udara Halim dengan kegiatan operasi dikendalikan dari gedung PENAS (Pemetaan Nasional), yang juga instansi AURI dan dari Tugu MONAS (Monumen Nasional). Sedang pimpinan gerakan, adalah letkol. Untung Samsuri.

Menurut keterangan, sejak dicetuskannya gerakan itu, Dewan Militer PKI mengambil alih semua wewenang Politbiro, sehingga instruksi politik yang dianggap sah, hanyalah yang bersumber dari Dewan Militer. Tapi setelah nampak bahwa gerakan akan mengalami kegagalan, karena mekanisme pengorganisasiannya tidak berjalan sesuai dengan rencana, maka dewan ini tidak berfungsi lagi. Apa yang dikerjakan ialah bagaimana mencari jalan menyelamatkan diri masing-masing. Aidit dengan bantuan AURI, terbang ke Yogyakarta, sedang Syam segera menghilang dan tak bisa ditemui oleh teman-temannya yang memerlukan instruksi mengenai gerakan selanjutnya.

Antara kebenaran dan manipulasi sejarah. Dalam konflik penafsiran dan kontroversi narasi atas Peristiwa 30 September 1965 dan peranan PKI, klaim kebenaran bagaikan pendulum yang berayun dari kiri ke kanan dan sebaliknya, sehingga membingungkan masyarakat, terutama generasi baru yang masanya jauh sesudah peristiwa terjadi. Tetapi perbedaan versi kebenaran terjadi sejak awal segera setelah terjadinya peristiwa.

Di tingkat internasional, Kantor Berita RRC (Republik Rakyat Cina), Hsinhua, memberikan versi bahwa Peristiwa 30 September 1965 adalah masalah internal Angkatan Darat Indonesia yang kemudian diprovokasikan oleh dinas intelijen Barat sebagai upaya percobaan kudeta oleh PKI.[April 2010]

Presiden Soekarno pun berkali-kali melakukan pembelaan bahwa PKI tidak terlibat dalam peristiwa sebagai partai melainkan karena adanya sejumlah tokoh partai yang keblinger dan terpancing oleh insinuasi Barat, lalu melakukan tindakan-tindakan, dan karena itu Soekarno tidak akan membubarkan PKI. Kemudian, pimpinan dan sejumlah perwira Angkatan Darat memberi versi keterlibatan PKI sepenuhnya, dalam penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira pertama AD pada tengah malam 30 September menuju dinihari 1 Oktober 1965. Versi ini segera diterima secara umum sesuai fakta kasat mata yang terhidang dan ditopang pengalaman buruk bersama PKI dalam kehidupan sosial dan politik pada tahun-tahun terakhir. Hanya saja harus diakui bahwa sejumlah perwira penerangan telah menambahkan dramatisasi artifisial terhadap kekejaman, melebihi peristiwa in factum. Penculikan dan kemudian pembunuhan para jenderal menurut fakta memang sudah kejam, tetapi dramatisasi dengan pemaparan yang hiperbolis dalam penyajian, telah memberikan effek mengerikan melampaui batas yang mampu dibayangkan semula. Dan akhirnya, mengundang pembalasan yang juga tiada taranya dalam penumpasan berdarah antar manusia di Indonesia.

Setelah berakhirnya masa kekuasaan formal Soeharto, muncul kesempatan untuk menelaah bagian-bagian sejarah –khususnya mengenai Peristiwa 30 September 1965 dan PKI– yang dianggap kontroversial atau mengandung ketidakbenaran. Kesempatan itu memang kemudian digunakan dengan baik, bukan saja oleh para sejarawan dalam batas kompetensi kesejarahan, tetapi juga oleh mereka yang pernah terlibat dengan peristiwa atau terlibat keanggotaan PKI. Bila sebelum ini penulisan versi penguasa sebelum reformasi banyak dikecam karena di sana sini mengandung unsur manipulasi sejarah, ternyata pada sisi sebaliknya di sebagian kalangan muncul pula kecenderungan manipulatif yang sama yang bertujuan untuk memberi posisi baru dalam sejarah bagi PKI, yakni sebagai korban politik semata. Pendulum sejarah kali ini diayunkan terlalu jauh ke kiri, setelah pada masa sebelumnya diayunkan terlalu jauh ke kanan.

Terdapat sejumlah nuansa berbeda yang harus bisa dipisahkan satu sama lain dengan cermat dan arif, dalam menghadapi masalah keterlibatan PKI pada peristiwa-peristiwa politik sekitar 1965. Bahwa sejumlah tokoh utama PKI terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 dan kemudian melahirkan Peristiwa 30 September 1965 –suatu peristiwa di mana enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat diculik dan dibunuh– sudah merupakan fakta yang tak terbantahkan. Bahwa ada usaha merebut kekuasaan dengan pembentukan Dewan Revolusi yang telah mengeluarkan sejumlah pengumuman tentang pengambilalihan kekuasaan, kasat mata, ada dokumen-dokumennya. Bahwa ada lika-liku politik dalam rangka pertarungan kekuasaan sebagai latar belakang, itu adalah soal lain yang memang perlu lebih diperjelas duduk masalah sebenarnya, dari waktu ke waktu, untuk lebih mendekati kebenaran sesungguhnya. Proses mendekati kebenaran tak boleh dihentikan. Bahwa dalam proses sosiologis berikutnya, akibat dorongan konflik politik maupun konflik sosial yang tercipta terutama dalam kurun waktu Nasakom 1959-1965, terjadi malapetaka berupa pembunuhan massal dalam perspektif pembalasan dengan anggota-anggota PKI terutama sebagai korban, pun merupakan fakta sejarah. Ekses telah dibalas dengan ekses, gejala diperangi dengan gejala.

Tidak perlu harus menjadi komunis lebih dulu untuk mengakui sesuatu yang menyangkut nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Akan tetapi tentu adalah keliru bila menggunakan terminologi nilai-nilai kemanusiaan untuk memberikan pembenaran atas suatu peristiwa politik yang melibatkan PKI sebagai pelaku politik

Gerakan 30 September yang dilancarkan oleh PKI kini disebut dengan peristiwa G30S/PKI. Dimana peristiwa tersebut telah cukup menggambaran penculikan dan pembunuhan terencana yang dipublikasikan dilakukan oleh PKI terhadap sejumlah jenderal TNI AD yang kemudian di buang ke sumur tua di daerah Lubang Buaya. Dan gagalnya upaya PKI untuk menggulingkan Ideologi Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia untuk kemudian di ganti dengan Ideologi Komunis, pada masa pemerintahan presiden Soeharto telah dikenal dengan peringatan hari kesaktian Pancasila yang selalu diperingati setiap tanggal 1 Oktober oleh seluruh rakyat indonesia dengan mengkibaran bendera setengah tiang. Namun kini berbagai pertanyaan tentang siapa perencana gerakan 30 September masih berkumandang.

Gunung Salak Dan Misteri Yang Menyelimuti didalamnya



 Gunung Salak terletak di selatan Jakarta, di Pulau Jawa, Indonesia. Gunung ini berusia relatif tua sehingga memiliki beberapa puncak. Geoposisi puncak tertinggi gunung ini ialah 6°43′ LS dan 106°44′ BT dan dinamakan Puncak Salak  dengan ketinggian puncak 2.211 m dari permukaan laut.



Kawasan Gunung Salak masuk ke dalam wilayah Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Sejak 2003 kawasan gunung ini menjadi wilayah perluasan Taman Nasional Gunung Halimun, dan dikelola sebagai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

Menurut Turangga Seta, nama asli dari Gunung Salak adalah Sapto Argo, walaupun ada juga yang mengartikan salak dari kata Salaka yang bermakna perak.

Dalam kisah pewangan asli nusantara yang bersumber dari wayang purwa, Sapto Argo adalah nama pegunungan sekaligus nama pertapaan tempat tinggal Begawan Abiyoso.

Gunung Salak sejak dulu sudah terkenal dengan keangkerannya, oleh warga sekitar juga dianggap menyimpan banyak keanehan dan misteri. Keindahan Gunung Salak dengan berbagai misteri yang masih belum terungkap sampai sekarang, maka banyak warga yang mengkaitkannya dengan berbagai sejarah.

Pernah ada kejadian aneh, ketika seorang pendaki tersesat di kawasan Gunung Salak, padahal posisi pendaki tersebut masih berada dekat dengan pemukiman warga. Ada pula pendaki yang dehidrasi parah, sementara sumber air berada tepat di sampingnya. Tapi mereka seolah nggak bisa melihat apa yang ada di sekitarnya, karena melanggar peraturan yang ada.

Banyaknya kecelakaan yang terjadi di Gunung Salak, semakin menguatkan mitos bahwa gunung berapi ini angker. Terlebih, sebagian warga setempat ada yang masih percaya bahwa Gunung Salak adalah tempat yang suci, tempat terakhir kemunculan Prabu Siliwangi, raja Padjajaran, kerajaan Hindu terakhir di Jawa Barat.

Masyarakat sekitar juga sering menemukan hal-hal gaib di kawasan Gunung Salak ini yang berhubungan dengan Prabu Siliwangi. Sebelum membangun pura ini pada 1995, umat Hindu terlebih dahulu membangun candi dengan patung macan berwarna putih dan hitam. Di lokasi inilah, diyakini Prabu Siliwangi menghilang dan berubah wujud menjadi macan.

Kenapa memilih di lokasi itu dibangun pura? Konon, pada tahun 1981 silam, tempat tersebut dikenal sebagai Batu Menyan. Batu menyan ini setiap harinya mengeluarkan asap. Konon masyarakat sekitar setiap hari melihat cahaya putih, dan sinar terang dari angkasa, kemudian turun ke batu.


Beberapa Misteri Yang Menyelimuti Gunung Salak diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Banyak Arwah Gentayangan di Kawah Ratu dan Curug Seribu

Di kawasan gunung Salak, ada 2 destinasi wisata yang dikenal cukup angker, yakni kawah Ratu dan curug Seribu, penduduk di sana berpendapat bahwa di kedua tempat itu terdapat banyak arwah-arwah gentayangan. Dahulu, arwah-arwah itu adalah orang-orang yang meninggal karena menghirup racun belerang di kawah Ratu dan tenggelam di curug Seribu.

2. Suara Gamelan yang Sering Terdengar di Gunung Salak

Banyak pendaki gunung mengaku bahwa mereka dengan jelas mendengar suara gamelan saat melakukan pendakian di sana. Namun, saat mereka mendekati sumber suara itu, suara gamelan akan semakin jauh dan semakin masuk ke dalam rimbunan hutan. Apa kamu pernah mengalaminya?.

3. Pasar Setan di Puncak Gunung Salak

Seperti misteri gunung Lawu, masyarakat sekitar percaya, bahwa di puncak gunung Salak terdapat pasar ghaib. Kepercayaan ini semakin kuat saat ada pendaki gunung yang mengaku pernah mendengar suara bising, seperti pasar, saat mereka bermalam di puncak Salak.

4. Penampakan Nenek Tua

Seorang pendaki mengaku bertemu dengan nenek renta usia 80-an di sisi tebing. Uniknya, nenek itu berjalan sendirian melalui medan yang bahkan anak muda saja susah melewatinya. Saat ditanya sedang apa, nenek itu menjawab dengan logat Jawa kental “Saya tinggal disini kok, nak. Saya senang karena kalau malam ramai. Orang-orang sering memberi makan saya disini “. Aneh karena sebagian besar penduduk kaki Gunung Salak berbahasa Sunda. Hanya selang beberapa menit kemudian, nenek itu tidak ditemukan lagi.

5. Binatang Gaib

Menurut kisah warga yang tinggal di bawah kaki Gunung, mereka pernah menemukan binatang seperti babi hutan yang besarnya sebesar truk tronton dan ular kuda emas yang dipercaya sebagai penunggu hutan. Banyak juga yang melihat macan gain yang konon merupakan jelmaan dari Prabu Siliwangi.

6. Larangan Memetik Bunga Anggrek

Penduduk sekitar selalu mengingatkan kepada para pendaki yang hendak menyatroni gunung Salak supaya mereka tidak memetik bunga Anggrek. Pasalnya, mereka percaya, jika kamu memetik bunga Anggrek, maka kamu akan kehilangan arah, alias tersesat dan hanya berjalan memutar-mutar. Seram juga kan?, jangan memetik bunga Anggrek di gunung Salak!.

7. Jeritan Meminta Tolong

Selama perjalanan Tim SAR menuju tempat jatuhnya pesawat Sukhoi, tidak ada satu pun kicau burung atau suara dari binatang liar lainnya. Kondisinya sangat sunyi dan sepi, namun saat sedang istirahat, tiba-tiba anggota tim SAR tersebut mendengar suara seorang wanita menjerit-jerit minta tolong. Suara minta tolong itu, kata Briptu Agus Supriatna, terdengar jelas di telinganya. Padahal, lokasi pos istirahat dengan lokasi jatuhnya Shukoi masih sangat jauh.

“Tolong Pak tolong, jangan lama-lama,” kata Agus menirukan suara wanita yang asalnya tak diketahui itu.

Sejarah Awal Berdirinya Monumen Nasional dan Misteri Sesosok Wanita Di Pucuk Monas




Monumen Nasional atau yg sering disebut dengan Monas terletak di Pusat Kota Jakarta. Tugu Monas merupakan tugu kebanggaan bangsa Indonesia, selain itu monas juga menjadi salah satu pusat tempat wisata dan pusat pendidikan yang menarik bagi warga Indonesa baik yang dijakarta maupun di luar Jakarta.

Pembangunan monumen bertujuan mengenang perjuangan bangsa Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan 1945. Dengan adanya monumen itu, Soekarno berharap bisa terus membangkitkan semangat patriotisme generasi yang akan datang.

Pada tanggal 17 Agustus 1954 sebuah komite nasional dibentuk dan sayembara perancangan monumen nasional digelar pada tahun 1955. Saat itu terdapat 51 karya yang masuk, akan tetapi hanya satu karya yang dibuat oleh Ars. Frederich Silaban (lahir di Bonandolok, Sumatera Utara, 16 Desember 1912 – meninggal di Jakarta, 14 Mei 1984 pada umur 71 tahun) yang memenuhi kriteria yang ditentukan komite, antara lain menggambarkan karakter bangsa Indonesia dan dapat bertahan selama berabad-abad.

Sayembara kedua digelar pada tahun 1960 tapi sekali lagi tak satupun dari 136 peserta yang memenuhi kriteria. Ketua juri kemudian meminta Silaban untuk menunjukkan rancangannya kepada Presiden Soekarno. Tapi saat itu Bung Karno kurang sreg dengan rancangan Silaban. Soekarno berharap monumen itu berbentuk lingga dan yoni.

Silaban kemudian diminta merancang monumen dengan tema seperti itu, akan tetapi rancangan yang diajukan Silaban terlalu luar biasa sehingga biayanya sangat besar dan tidak mampu ditanggung oleh anggaran negara, terlebih kondisi ekonomi saat itu cukup buruk. Silaban lalu menolak merancang bangunan yang lebih kecil, dan menyarankan pembangunan ditunda hingga ekonomi Indonesia membaik.

Soekarno yang tidak suka menunggu lalu meminta arsitek RM Soedarsono untuk melanjutkan rancangan Silaban. Lalu Soekarno mengeluarkan keputusan Presiden RI Nomor 214 Tahun 1959 tanggal 30 Agustus 1959 tentang Pembentukan Panitia Monumen Nasional yang diketuai oleh Kolonel Umar Wirahadikusumah, Komandan KMKB Jakarta Raya.

Soedarsono memasukkan angka 17, 8 dan 45, melambangkan 17 Agustus 1945 memulai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ke dalam rancangan monumen itu. Tugu Peringatan Nasional ini kemudian dibangun di areal seluas 80 hektar. Tugu ini diarsiteki oleh Friedrich Silaban dan RM Soedarsono, dan mulai dibangun pada 17 Agustus 1961.

Keseluruhan bangunan Monas dirancang oleh para arsitek Indonesia yaitu Soedarsono, Frederich Silaban dan Ir Rooseno. Pada tanggal 12 Juli 1975, Monas resmi dibuka untuk umum.

Monas dibangun setinggi 132 meter dan berbentuk lingga yoni. Seluruh bangunan ini dilapisi oleh marmer.


Monumen tersebut memang terbilang unik jika dibandingkan dengan monumen atau tugu sejenisnya yang ada di kota lain.
Sebab, di puncak monumen tersebut terdapat bongkahan emas berbentuk kobaran api.

Bongkahan emas tersebut memiliki berat sekitar 38 kilogram.
Emas itu melambangkan semangat perjuangan yang menyala-nyala.
Meski demikian, sampai saat ini tidak banyak orang yang mengetahui tentang sosok yang menyumbangkan emas yang berada di puncak Monas.

Sosok penyumbang emas untuk puncak Monas adalah Teuku Markam.
Teuku Markam lahir pada tahun 1925 di Seuneudon, Alue Capli, Panton Labu, Aceh Utara.

Puncak tugu Monas berupa 'Api Nan Tak Kunjung Padam' yang bermakna agar Bangsa Indonesia senantiasa memiliki semangat yang menyala-nyala dalam berjuang dan tidak pernah surut atau padam sepanjang masa.

Namun puncak Monas itu bukan sekadar berbentuk lidah api biasa. Konon lidah api di puncak Monas tersebut menggambarkan sesosok perempuan yang sedang duduk bersimpuh dengan gerai rambutnya yang panjang. Rambut atasnya disimpul seperti sanggul kecil. Duduk menghadap langsung ke Istana Negara.

Namun sosok wanita di lidah api Monas tersebut hanya bisa dilihat dari sisi sebelah kiri Monas atau di Jalan Medan Merdeka Barat sebelah utara, dekat dengan Istana Presiden. Patung sesosok perempuan itu sengaja dibuat dengan sebaik-baiknya agar orang yang melihatnya tidak mengetahuinya secara langsung.

Banyak yang menganggap bahwa sosok wanita dalam lidah api monas adalah salah satu ide Soekarno. Sosok wanita dalam lidah api Monas itu sering dipandangi Soekarno dari Istana Merdeka.


DESKRIPSI MONAS

Sedang Cawan pada Monas berupa seperti lesung serta mempunyai tinggi 17 mtr. dengan luas 45 x 45 mtr. sedang tinggi ruang didalam cawan adalah 8 mtr.. Keadaan Cawan ini adalah perlambangan dari hari kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945. Didalam cawan ada Ruangan Kemerdekaan yang disebut amphitheater yang dikelilingi oleh 4 atribut kemerdekaan RI ; yakni Peta Kepulauan RI, Bendera Sang Saka Merah Putih, Simbol Negara Bhineka Tunggal Ika serta Pintu Gapura yang diisi Naskah Proklamasi Kemerdekaan RI.

Bagian Bangunan Monas

1. Ruang Museum Sejarah

Ruang museum sejarah terletak 3 meter di bawah permukaan halaman Monas memiliki uran sebesar 80×80 meter. Dinding dan lantai di ruangan itu semuanya dilapisi oleh batu marmer. Di dalam ruangan Monas, pengunjung disajikan dengan 51 jendela yang mengabadikan sejarah sejak zaman kehidupan nenek moyang bangsa Indonesia.

Perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia hingga masa pembangunan di masa orde baru. Di ruangan ini, pengunjung dapat mendengarkan suara rekaman suara Ir.Soekarno ketika membeacakan teks Proklamasi.

2. Ruang Kemerdekaan

Di ruang kemerdekaan yang terbentuk ampiteater yang terletak di dalam cawan tugu, dan juga terdapat 4 atribut kemerdekaan, yaitu peta kepulauan Negara Republik Indonesia, Lambang Negara Bhinneka Tunggal Ika dan pintu gapura yang berisi naskah Proklamasi Kemerdekaan.

Sejaraah Lengkap Kerajaan Kediri dari Awal Masa Berdirinya hingga Penyebab Runtuhnya Serta Peninggalannya

  Berdirinya Kerajaan Kediri diawali dengan putusan Raja Airlangga selaku pemimpin dari Kerajaan Mataram Kuno yang terakhir. Dia membag...