Latar Belakang Meletusnya Perang di Aceh Serta Dampak Setelahnya

loading...


Perang Aceh adalah perang Kesultanan Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 hingga 1904. Kesultanan Aceh menyerah pada januari 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut.

Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Pada 5 April 1873, Belanda mendarat di Pante Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Köhler saat itu membawa 3.198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para perwira.


- Latar Belakang Perang Aceh

Aceh memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan. Aceh banyak menghasilkan lada dan tambang serta hasil hutan. Oleh karena itu, Belanda berambisi untuk mendudukinya. Sebaliknya, orang-orang Aceh tetap ingin mempertahankan kedaulatannya. Sampai dengan tahun 1871, Aceh masih mempunyai kebebasan sebagai kerajaan yang merdeka.

Situasi ini mulai berubah dengan adanya Traktrat Sumatra (yang ditandatangani Inggris dengan Belanda pada tanggal 2 November 1871). Isi dari Traktrat Sumatra 1871 itu adalah pemberian kebebasan bagi Belanda untuk memperluas daerah kekuasaan di Sumatra, termasuk Aceh. Dengan demikian, Traktrat Sumatra 1871 jelas merupakan ancaman bagi Aceh.
Karena itu Aceh berusaha untuk memperkuat diri, yakni mengadakan hubungan dengan Turki, Konsul Italia, bahkan dengan Konsul Amerika Serikat di Singapura. Tindakan Aceh ini sangat mengkhawatirkan pihak Belanda karena Belanda tidak ingin adanya campur tangan dari luar. Belanda memberikan ultimatum, namun Aceh tidak menghiraukannya. Selanjutnya, pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda memaklumkan perang kepada Aceh.

Perang Aceh I (1873-1874)

Sebelum perang meletus, Aceh telah mengadakan hubungan dengan luar negeri (Turki, Inggris, Amerika dan Perancis) tetapi mengalami kegagalan. Penguasa Aceh sudah memprediksi tentang kemungkinan politik Belanda yang keras terhadap Aceh.

Pada tanggal 23 Maret 1873, datang ekspedisi Belanda yang pertama dibawah pimpinan Mayor Jenderal J.H.R. Kohler, Kohler mengirimkan ultimatum perang terhadap Aceh. Secara diplomatis Sultan Aceh menolak ultimatum tersebut, sehingga Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873. (Sartono Kartodirdjo,1987:80)

Serangan pertama dibawah pimpinan Kohler dengan tujuan menguasai Masjid Raya dan Kraton. Masjid Raya dapat diduduki oleh Belanda dan dijadikan tangsi militer. Dalam pertempuran memperebutkan Masjid Agung di ibukota Aceh pada tanggal 14 April 1873, pemimpin pasukan Belanda Jenderal Kohler dapat ditewaskan oleh pasukan Aceh. Tiga hari setelah Kohler tewas, Belanda mengundurkan diri ke pantai dan setelah mendapatkan izin dari pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 23 April untuk kembali ke Pulau Jawa, mereka lalu mengangkat sauh meninggalkan Aceh pada tanggal 29 April 1873.
Pada 24 Januari 1874 Belanda berhasil menduduki istana, tapi Sultan tanggal 15 Januari telah mengosongkannya dan bersama-sama Teuku Baid menuju Luengbata. Karena serangan kolera ia mangkat disana pada tanggal 28 Januari 1874.

Pada tanggal 31 Januari 1874, Letnan Jenderal J. van Swieten memproklamasikan bahwa kerajaan Aceh sudah ditaklikan dan daerah Aceh Besar dinyatakannya menkadi milik pemerintah Hindia Belanda. Belanda menyangka bahwa dengan pendudukan istana, dengan menguasai sebagian kecil dari daerah Aceh Besar dan dengan secarik kertas proklamasi sudah cukup untuk membuat Aceh bertekuk lutut. Tetapi perlawanan rakyat Aceh melalui perang gerilya masih terus berlanjut.


 Perang Aceh II (1880-1890)

Kelesuan semangat perjuangan Aceh mendapatkan angina segar dengan tampilnya tokoh Teungku Hadji Saman dari Tiro kemudian dikenal dengan nama Teungku Chik di Tiro bertindak sebagai panglima besar dalam peperangan ini dan bertugas menghimpun pejuang-pejuang Aceh yang berada di daerah-daerah yang berbeda.

Pada tahun 1881 Van der Heyden pulang ke Jawa, pemerintahan diserahkan kepada gubernur Van der Hoeven, taktik operasional Belanda mulai dirubah dengan taktik defensive, untuk meringankan biaya perang. Untuk menjaga keamanan di daerah Aceh Besar dilancarkan taktik garis konsentrasi yang berlangsung selama tahun 1884-1896. Sistem ini oleh para pejuang Aceh, tidak dihiraukan. Para pejuang itu dapat dengan mudah masuk ke daerah kekuasaan Belanda dan menyerang benteng-benteng di wilayah tersebut.
Peristiwa “Hok Canton” pada tahun 1886 berlabuhlah kapal Inggris “Hok Canton” dengan tujuan mmbeli lada dan menjual senjata secara gelap. Teuku Umar yang berkuasa di Aceh Barat menyergap kapal tersebut serta merampas isinya. Peristiwa ini menarik dunia internasional, kini dunia tahu apa yag sebenarnya terjadi antara Aceh dan Belanda.

Tahun 1889 Sultan Daud mencoba mengajak para pemimpin-pemimpin perang Aceh berdamai dengan Belanda, tetapi ajakan ini ditolak oleh mereka dan perang tetap berlangsung. Pada tahun 1891 Teungku Chik di Tiro wafat karena diracun oleh mata-mata utusan Belanda.

Perang ketiga [1881-1896], perang dilanjutkan secara gerilya & dikobarkan perang fisabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904. Perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim & Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.

Perang Aceh Keempat
Perang keempat [1896-1910] ialah perang gerilya kelompok & perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan & pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan.


Akhirnya dari perang aceh

Para pejuang Aceh masih memiliki benteng yang tak terkalahkan yaitu Benteng Batee Ilie. Ketika benteng ini diserang Belanda pejuang Aceh mempertahankan benteng ini dengan semangat yang luar biasa. Disini terjadi pertempuran sengit, Akhirnya Benteng ini dapat dikuasai Belanda pada tahun 1899. Dengan jatuhnya benteng ini situasi perang semakin menurun.
Kedudukan Sultan sudah sangat terjepit akibat kepungan-kepungan Belanda, Pada tahun 1903 maka menyerahlah Sultan Sigli dan Panglima Polim di Lho Seumawe. Para pemimpin tinggi Aceh yang telah menyerah itu diharuskan menandatangani Pelakat Aceh, yang kemudian pelakat ini dikenal dengan nama Pelakat Pendek (Korte Verklaring). Yang isinya:

1.Kedaulatan Belanda Harus diakui.
2.Tak akan mengadakan hubungan dengan luar ngeri.
3.Patuh akan perintah-perintah Belanda.
Walaupun pkalat ini isinya pendek, tetapi mengandung makna yang dalam yaitu penyerahan total kepada Belanda.

Menyerah secara de facto. Pada tahun 1904 secara umum dianggaplah perang Aceh telah selesai. Nama Van Heutsz makin menanjak karena sukses ini, dan dia diangkat menjadi Gubernur Hindia Belanda. Dan Van Daalen diangkat sebagai gubernur Aceh (1904). (Nyoman Deker, 1974:146-147)
Sebenarnya perlawanan rakyat Aceh masih terus berjalan sampai Jepang tiba di Indonesia. Kadang perlawanan ini bersifat kelompok kadang juga bersifat individual sasarannya tetap penjajah kafir.

Demikianlah perang yang terjadi di Aceh yang mengorbankan putra-putra tanah Aceh seperti Teungku Umar, Panglima Polim, teungku Cik di Tiro, Tjut Nyak Dien, Tjut Mutiah, Tuanku Muhammad Dawodsyah dan rakyat Aceh yang dapat kita anggap sebagai tokoh perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia.





loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Sejaraah Lengkap Kerajaan Kediri dari Awal Masa Berdirinya hingga Penyebab Runtuhnya Serta Peninggalannya

  Berdirinya Kerajaan Kediri diawali dengan putusan Raja Airlangga selaku pemimpin dari Kerajaan Mataram Kuno yang terakhir. Dia membag...