Pertempuran Surabaya adalah salah satu pertempuran terbesar yang terjadi pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Pertempuran antara pasukan Indonesia melawan pasukan sekutu, tidak lepas kaitannya dengan peristiwa yang mendahuluinya, yaitu perebutan kekuasaan dan senjata tentara Jepang. Perebutan senjata telah dimulai sejak tanggal 2 September 1945. Pada akhirnya perebutan senjata ini membangkitkan suatu pergolakan, yang berubah menjadi situasi revolusi yang menegangkan.
Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, lantas tidak serta merta rakyat Indonesia seutuhnya bisa lepas dari belenggu orang Barat (Belanda). Hal ini karena Belanda menganggap bahwa kemerdekaan yang dilakukan oleh Soekarno–Hatta (atas inisiatif para pemuda) hanyalah buatan Jepang semata dan bagi mereka kemerdekaan tersebut tidak sah.
Kedatangan tentara Sekutu ke Indonesia tanggal 25 Oktober 1945 dengan ditemani NICA (tentara Belanda) membuat rakyat Indonesia pada saat itu menaruh rasa curiga kepada tentara-tentara Eropa. Awalnya, kedatangan Sekutu hanya untuk melucuti (merampas senjata) tentara Jepang, karena saat itu masih banyak tentara Jepang yang berada di Indonesia. Namun, karena Sekutu datang bersama tentara Belanda, tentu pasti ada maksud terselubung dibalik kedatangan mereka. Akibat terbunuhnya Jendral Mallaby di Surabaya tepatnya disekitar Gedung Internatio pada tanggal 30 Oktober 1945, pihak Sekutu (Inggris dan Belanda) beralasan bahwa terbunuhnya Jendral Mallaby adalah ulah rakyat Indonesia, pihak Sekutu tidak menerima insiden tersebut dan menganggap rakyat Indonesia telah mengingkari perjanjian-perjanjian yang sudah disepakati sebelumnya.
Terbunuhnya Mallaby di Surabaya membuat Sekutu geram, mereka kemudian memberikan
ultimatum kepada rakyat Indonesia untuk segera meletakkan seluruh senjata dan memberikannya kepada tentara Sekutu, mulai dari tentara TKR maupun rakyat biasa wajib menyerahkan senjata kepada Sekutu, ultimatum ini diberikan oleh Mayjend. EC. Mansergh pengganti Jendral Mallaby.
Rakyat Indonesia menganggap hal itu merupakan tuduhan yang tidak bisa dibuktikkan kebenarannya, terlebih bagi rakyat Surabaya karena wilayah ini merupakan wilayah dari negara Indonesia mengapa rakyat kita yang harus patuh terhadap mereka (Sekutu). Jika Sekutu beralasan rakyat Indonesia yang mengingkari kesepakatan dan membuat terbunuhnya Jend. Mallaby, lalu bagaimana dengan perjanjian-perjanjian kecil yang sebelumnya sudah disepakati bersama antara Sekutu dan pemimpin Indonesia (yang saat itu diwakili oleh Gubernur Suryo dan Mayjen Mustopo)?
Bagi rakyat Surabaya mereka justru yang terlebih dahulu mengingkari perjanjian-perjanjian pada tanggal 25, 26, 27 Oktober 1945 dengan menyebarkan selembaran/pamflet yang berisikan propaganda dan membebaskan semua tawanan Belanda tanpa se-izin dari pemerintah Surabaya
Menanggapi ultimatum dari pihak Sekutu sebenarnya para pemimpin Indonesia yang saat itu diwakili oleh Jend. Sudirman, Mangundiprodjo, dan Gubernur Suryo meminta agar pihak Sekutu mencabut ultimatumnya, namun permintaan tersebut ditolak oleh Sekutu dan buntut dari penolakan itu, yaitu terjadinya sebuah peristiwa pertempuran yang terjadi pada tanggal 10 November 1945.
Pada tanggal 10 November 1945 tentara Sekutu mulai melancarkan serangan besa-besaran kepada rakyat Indonesia dengan kekuatan persenjataan yang sangat canggih, mereka mengerahkan 30.000 serdadu, 50 pesawat terbang, dan sejumlah besar kapal perang. Sekutu menyerang dan memborbardir kota Surabaya baik melalui darat, udara bahkan laut, sedangkan usaha dari rakyat Indonesia khususnya rakyat Surabaya untuk melawan tentara Sekutu yang terdiri dari beberapa pejuang non kemiliteran buatan pemerintah, seperti BPRI, Hizbullah, Sabilillah atau pun rakyat non organisasi berjuang bersama. Pada saat itu para pejuang Surabaya menggunakan alat persenjataan seadanya, jumlah rakyat Indonesia yang terlibat sekitar ratusan ribu orang baik itu tentara maupun sukarelawan. Para pejuang yang terlibat dikomandoi oleh Bung Tomo, KH. Hasyim Ashari, KH. Wahab Chasbullah dan KH. Masykur. Ketika pertempuran berlangsung, para pejuang banyak membuat musuh merasa keteteran, Sekutu mengira untuk mengalahkan rakyat yang baru merdeka hanya butuh waktu tiga hari saja, namun peristiwa ini berlangsung sekitar dua minggu bahkan satu bulan.
Pertempuran terakhir terjadi di Gunungsari, pada tanggal 28 November 1945, namun perlawanan secara sporadis masih dilakukan setelah itu. Sebagai penghormatan atas jasa para pahlawan yang dengan berperang dengan gigih melawan Sekutu di Surabaya, tanggal 10 November 1946 Soekarno menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan.
Tindakan Inggris untuk menghukum pasukan Indonesia di Surabaya, dianggap Mansergh sebagai hukuman yang pantas atas pelanggaran terhadap peradaban. Akan tetapi, tindakan yang dilakukan oleh Inggris pada tanggal 10 November, justru mencerminkan tindakan pelanggaran terhadap peradaban dan kemanusiaan secara nyata. Kematian Mallaby seakan hanya dijadikan Casus Belli, untuk menghancurkan kekuatan militer Indonesia di Surabaya.
Selain itu, pertempuran Surabaya, dimanfaatkan untuk memenuhi perjanjian bilateral mereka dengan Belanda serta menjalankan keputusan Konferensi Yalta yakni pengembalian situasi pada Status Quo, seperti sebelum invasi Jepang.
Pertempuran Surabaya berakhir dengan kekalahan pihak Indonesia. Akan tetapi, perang tersebut membuktikan bahwa rakyat Indonesia rela berkorban demi mempertahankan kemerdekaan mereka, meskipun harus dibayar dengan nyawa
Namun, akhir dari peristiwa 10 November ini rakyat Surabaya tetap gagal dalam usaha mempertahankan kota Surabaya dan kemerdekaan RI. Rakyat Surabaya terpaksa merelakan kota tersebut jatuh ke tangan pihak Sekutu khususnya Belanda dan sekitar 16.000 korban terwas bagi Indonesia. Akan tetapi, dampak dari peristiwa 10 November 1945 membuat para pejuang dari seluruh daerah rela mengorbankan nyawanya hanya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, yang secara tidak langsung rasa Nasionalisme dan Patriotisme rakyat kita menular ke berbagai lapisan daerah dengan berbagai macam peristiwa lainnya pada masa revolusi.